Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan pada tahun 2023 karyawan berkemampuan (skill) rendah bakal makin sulit mendapatkan pekerjaan. Biasanya, karyawan dengan skill rendah merupakan pekerja dengan lulusan sekolah menengah dan sekolah dasar.
Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo mengatakan sulitnya pekerja berkemampuan rendah mendapatkan kesempatan kerja terjadi karena tingginya upah minimum yang harus dibayarkan pengusaha baik di tingkat Kabupaten dan Kota, maupun Provinsi. Alhasil, angka pengangguran dan kemiskinan diproyeksikan meningkat.
BACA JUGA: Pengusaha Proyeksikan PHK Tekstil dan Alas Kaki Berlanjut pada 2023
“Pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD dan SMP semakin tersisih dalam memperebutkan pekerjaan dari sektor usaha formal yang memiliki kepastian pendapatan. Dengan sedikitnya lapangan kerja yang tercipta dibandingkan dengan pencari kerja dan tingginya upah minimum, maka kecenderungan alamiah perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi dan bersedia dibayar dengan upah minimum,” kata Hariyadi dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Kondisi tersebut makin diperburuk dengan penciptaan lapangan kerja yang terus berkurang. Besarnya investasi yang masuk ke Tanah Air merupakan padat modal dan memanfaatkan teknologi tinggi sehingga penyerapan tenaga kerja tidak banyak.
BACA JUGA: Apindo: Pasar Eropa Tolak Produk dari Negara Pelanggar HAM
Tak hanya itu, Hariyadi menyebut serapan tenaga kerja pada setiap modal yang masuk tiap tahun juga mengalami penurunan. Dari laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam tujuh tahun terakhir daya serap pekerja turun hingga tidak sampai satu per tiganya.
Tercatat, setiap modal sebesar Rp 1 triliun pada tahun 2013 dapat menyerap 4.594 pekerja. Sementara itu, pada 2021 hanya mampu mempekerjakan karyawan sebanyak 1.340 orang.
“Dengan angkatan kerja 143,72 juta orang di mana 135,30 juta orang bekerja, jumlah pengangguran masih tinggi sebanyak 8,42 juta orang. Tentu sangat diperlukan penciptaan lapangan kerja yang massif,” ujarnya.
Dengan situasi itu, pemerintah harus menanggung kelangsungan hidup mereka melalui bantuan sosial yang membebani anggaran dan menghambat pembangunan. Diperkirakan dana untuk memberikan bantuan sosial mencapai Rp 431,5 triliun.
Salah satu bantuan sosial yang mencakup jumlah penduduk sangat besar adalah penerima bantuan iuran (PBI) kepesertaan BPJS Kesehatan oleh pemerintah pusat yang mencakup 96 juta orang dan pemerintah daerah yang mencakup 35 juta orang. Belum lagi jika ditambah berbagai jenis bantuan sosial lainnya, seperti program keluarga harapan (PKH), subsidi upah, hingga kartu prakerja.
“Program-program bantuan sosial tersebut terjadi karena minimnya penciptaan pekerjaan formal sehingga memerlukan intervensi bantuan pemerintah untuk penghidupannya,” tutur Hariyadi.
Editor: Ranto Rajagukguk