Tahun Depan, Industri Ritel Diprediksi Masih Anomali

marketeers article

Industri ritel Tanah Air diprediksi masih akan berada dalam belenggu transisi. Para pemain lebih sering menyebutnya dengan istilah ‘Anomali’. Lantas, bagaimana para pemain menyoroti outlook bisnis ritel di tahun depan?

Pergeseran situasi atau kondisi yang terjadi lantaran berbagai faktor, mulai dari perubahan perilaku konsumen hingga disrupsi teknologi membuat industri ini masih berupaya untuk benar-benar berada pada posisi yang baru. Belum lagi, persoalan global yang juga berubah dari segi politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga lingkungan hidup secara otomatis membuat industri ritel Tanah Air kian anomali.

Jangan heran jika beberapa pengamat kemudian melihat industri ritel kita masih akan berada pada kondisi underperform di tahun mendatang. Meskipun, ada harapan untuk menjadi lebih baik dari tahun ini namun tidak seoptimis posisi ritel sebelum tahun 2015.

Kenapa lebih baik? Setidaknya, kita akan berjumpa dengan susunan kabinet baru dengan berbagai program pembangunan yang tentunya mendukung perekonomian. Apalagi, di 100 Hari Pertama masa kerja pemerintahan baru. Kemudian, momentum Pemilihan Kepala Daerah di tahun mendatang menjadi agenda yang cukup menjanjikan bagi para pemain ritel. Mengingat, akan ada kebutuhan konsumsi yang meningkat di sana.

“Industri ritel Tanah Air masih berada pada kondisi anomali akibat pergeseran berbagai situasi dan kondisi. Jika tahun lalu pertumbuhan industri ritel tidak lebih dari 6.5%-7%, maka tahun ini kami prediksi akan lebih baik namun tidak signifikan. Mudah-mudahan bisa menyentuh 10%,” ungkap Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) kepada Marketeers.

Meski peluang itu ada, tantangan kian terpampang jelas. Hal ini ditenggarai karena pendapatan per kapita di Indonesia terus meningkat sehingga mendorong perubahan perilaku konsumen pada leisure. Pendapatan per kapita yang meningkat akan memengaruhi kecenderungan konsumen untuk memiliki needs and wants yang juga berbeda dan ‘naik kelas’.

Di satu sisi, e-commerce masih membawa euphoria tersendiri bagi para konsumen. Seperti yang kita tahu, hal-hal baru akan selalu mengundang curiousity dari konsumen yang ingin mengetahui, menggunakan, dan akhirnya berbelanja pada hal-hal yang bersifat leisure.

Bursa Efek Indonesia pada tahun lalu mencatat, terdapat penurunan pertumbuhan penjualan emiten ritel sejak 2013-2017. Hal ini ditenggarai dengan kehadiran fenomena belanja online yang membuat persaingan kian ketat dan berdampak pada pertumbuhan penjualan emiten ritel. Tren ini menunjukkan penurunan dalam waktu lima tahun terakhir.

Sementara, Katadata menganalisis, terdapat 10 emiten sektor ritel yang pada 2017 mengalamai perlambatan pertumbuhan dibanding 2013. PT Electronic City Indonesia Tbk (ECII) misalnya, mengalami penurunan pertumbuhan penjualan lebih dari 3.100 basis poin (bps) dari 40,69% pada 2013 menjadi hanya 9,55% pada 2017. Demikian pula dengan PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) yang mengalami penurunan pertumbuhan penjualan terendah dari 20,85% pada 2013 menjadi 20,31% di 2017.

Total penjualan 10 emiten ritel tersebut hanya tumbuh 6,41% dari tahun sebelumnya setelah mencatat pertumbuhan lebih dari 21% dari tahun sebelumnya.

Michael David Capper, Presiden Direktur PT MAP Aktif Adiperkasa (MAPA) berpendapat, “ada begitu banyak peluang bagi ritel untuk berkembang, antara lain dengan melakukan ekspansi di e-commerce atau menjadikan toko ritel lebih dari sekadar tempat memajang produk, namun memberikan pengalaman lebih bagi para konsumen.”

Dari lima format ritel yang tercantum dalam UU No. 7 tahun 2014 (Minimarket, Supermarket, Hypermarket, Wholesaler, dan Department Store), ritel berukuran besar seperti hypermarket masih akan terkena dampak besar, disusul dengan wholesaler. Sementara, minimarket masih akan terus tumbuh signifikan.

Format ritel besar dengan luas di atas lima ribu meter, seperti hypermarket masih akan menjadi pemain yang paling terkena dampak karena format ritel seluas ini tak lagi efektif. Sementara, minimarket masih akan terus bertumbuh di berbagai area urban dan rural, ” kata Roy Mandey.

Sementara, data Colliers International per kuartal tiga 2019 memproyeksi, pasok ritel akan tetap tumbuh subur dengan mal sebagai sarana ampuh untuk rekreasi. Diperkirakan 70% total pasok ritel yang akan beroperasi di 2019-2023 akan berada di wilayah BoDeTaBek lantaran para pengembang, seperti Pakuwon, Ciputra, Jaya Property, dan Transcorp akan memperluas portofolio mereka ke wilayah tersebut. Preferensi berbelanja ke toko khusus diprediksi semakin meningkat, namun department store justru akan terus tergerus.

Soal kategori, ritel-ritel dengan produk kecantikan dan kesehatan bakal terus bertumbuh dan menuai proyeksi cerah. Omnichannel lagi-lagi dijadikan jawaban bagi para pemain untuk setidaknya bisa bertahan atau bahkan berkembang pesat di tengah industri ritel yang masih anomali.

“Para pemain ritel juga harus mampu bertransformasi menjadi omnichannel untuk dapat menjangkau konsumen dari berbagai saluran. Kawan Lama Retail meyakini, ketika kita mampu fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan yang ada seharusnya kita masih bisa berkembang di tengah era disrupsi,” ungkap Nana Puspa Dewi, Markering Director Kawan Lama Group.

Related