Tahun Politik dan Event Internasional Picu Belanja Iklan Naik

marketeers article

Berdasarkan data Nielsen Advertising Information Services yang dirilis oleh Nielsen Indonesia pada September 2017, belanja iklan masih menunjukkan tren peningkatan untuk periode Januari–Juli 2017. Dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016, belanja iklan tumbuh sebesar 6%. Riset Nielsen Indonesia mengungkapkan, belanja iklan di TV dan media cetak di sepanjang Januari–Juli 2017 mencapai angka Rp 82,1 triliun.

Selama periode Januari–Juli 2017, iklan dari industri telekomunikasi dan online commerce berhasil tumbuh sebesar 32% (Rp3,7 triliun) dan 31% (Rp3,2 triliun). Disusul dengan kategori fast-moving consumer goods yang tumbuh sebesar 25% atau setara Rp 2,6 triliun. Tingginya pertumbuhan di sektor telekomunikasi tidak terlepas dari derasnya iklan yang dikeluarkan oleh produsen smartphone, Vivo. Belanja iklan Vivo pada Januari hingga Juli 2017 mencapai angka Rp 462,4 miliar. Selain Vivo, sektor ini juga didorong oleh brand Samsung dengan belanja iklan mencapai Rp 372,1 miliar. Sementara di sektor online commerce sumbangsih terbesar dikontribusi oleh Traveloka, Agoda, dan Shopee.

Meskipun ada pertumbuhan di beberapa kategori, tetap saja ada kategori yang justru mengurangi angka belanja iklannya. Kategori rokok misalnya mengalami penurunan sebesar 28% bila dibandingkan periode yang sama pada tahun 2016. Penurunan tersebut setara dengan angka Rp 1,1 triliun. Selain rokok, sektor yang juga mengalami penurunan adalah obat tradisional, pemerintah, dan partai politik.  Kategori obat tradisional berkurang Rp 404 miliar, turun sebesar 50%. Kategori pemerintahan dan partai politik turun dari Rp 4,3 miliar menjadi Rp 4 miliar.

Jika merunut pada media tempat beriklan, TV masih mempunyai kontribusi terbesar dengan total belanja iklan mencapai Rp 65,1 triliun disusul oleh belanja iklan koran sebesar Rp 15,6 triliun. Belanja iklan di radio untuk periode Januari – Juli 2017 ini telah mencapai Rp 811,8 miliar yang melebihi belanja iklan di majalah dan tabloid yaitu Rp 686,6 miliar.

Melihat kondisi yang terjadi selama semester pertama 2017, banyak pelaku di bidang periklanan yang optimistis dengan kondisi yang akan mereka hadapi pada tahun 2018. Bahkan, belanja iklan bisa tumbuh dua digit pada tahun depan.

“Tahun 2018 cukup optimistis. Infrastruktur juga sudah bagus dan bisa mendongkrak belanja iklan. Saat ini, di Indonesia ada 8.000 brand yang aktif di pasar untuk beriklan, ada 12.000 spot iklan setiap harinya serta ada 400 agensi periklanan,” ujar Maya Watono, CEO DwiSapta Group.

Di tahun 2018, Maya memperkirakan media konvensional seperti TV dan koran masih mendominasi media tempat beriklan sebanyak 70%. Sisanya akan dialokasikan kepada media digital dan media alternatif seperti out of home.

Sedangkan Irfan Ramli, Chairman Hakuhodo Indonesia mengatakan, tidak ada perubahan besar pada tren periklanan pada tahun 2018. Pasalnya, perubahan tersebut sudah terjadi sejak 2-3 tahun lalu ketika tren digital mulai berubah.

“Tapi, sesuatu akan banyak terjadi dalam 2-3 tahun ke depan. Medium yang dulunya masih baru menjadi establish. Yang tadinya establish akan menjadi kuat, sementara yang dulu kuat akan mulai tergerus,” ujar Irfan.

Dalam waktu 2-5 tahun ke depan, medium iklan digital akan menguasai bersama medium TV. Namun, hal ini harus diikuti dengan platform TV yang migrasi ke saluran digital yang kuat.

Menebak Nasib Digital Advertising

Perubahan pola konsumsi media masyarakat Indonesia, membuat brand harus memutar otaknya untuk bisa menjadi lebih dekat dengan konsumennya. Salah satu medium yang saat ini tengah menjadi favorit para pemilik brand adalah saluran digital. Secara perbandingan, medium digital masih kalah jauh dengan media konvensional. Namun seiring berjalan waktu, media digital merupakan salah satu saluran yang efektif bagi para pemilik brand.

Berdasarkan data Indonesia Native Advertising and Influencer Marketing Report 2018 yang dikeluarkan oleh GetCRAFT, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 8 jam setiap harinya di Internet baik melalui desktop atau tablet. Masing-masing menghabiskan lebih dari 3 jam untuk media sosial. Sementara waktu yang dihabiskan untuk menonton TV hanya berkisar di angka 2 jam 23 menit.

Riset GetCRAFT menunjukkan bahwa sebanyak sepertiga dari alokasi bujet pemasaran brand dialihkan menuju native ads di medium digital. Native ads merujuk pada materi iklan berbentuk paid social media posts, influencer marketing, paid search, dan sponsored content. GetCRAFT memperkirakan, meskipun rata-rata alokasi yang dianggarkan akan berkisar di 20%-30%, namun sebanyak 16% dari narasumber riset mereka rela untuk mengalokasikan bujet di atas 50% untuk iklan digital pada tahun 2018.

Penambahan alokasi bujet ini ditujukan kepada paid social media posts, influencer marketing, dan branded content. Tingginya penggunaan media sosial di Indonesia juga turut membuat ramai penggunaan influencer marketing di kalangan brand.

Menurut Sebastian Erasmus, Global CEO Leverate Media Group, banyak dari sejumlah influencer marketing tidak ingin diatur dalam mempromosikan brand tertentu. Tentunya baik brand dan Agensi harus bisa menghargai kreativitas mereka dalam membangun branding image diri mereka sekaligus menyebarluaskan brand yang mereka afiliasikan.

Sebastian juga menambahkan bahwa konsumen saat ini semakin tidak nyaman dengan strategi pemasaran yang terlihat ‘maksa’. Setiap influencer memiliki pendekatan yang berbeda pada aktivitas digital, sehingga menentukan bagaimana mereka mempromosikan sesuatu berdasarkan style masing-masing.

“Saat ini pemasar menjadi smarter to pick and choose. Mereka memilih medium yang lebih baik, cara membelinya, menyeimbangkannya dengan 360° marketing. Effectiveness spending brand tidak terpaku pada satu medium saja,” ujar Roy Simangunsong, Managing Director PHD Media.

Baginya, saat ini brand akan memilih jalur yang paling efektif dalam berjualan, terlebih konsumen juga ingin dilibatkan dalam proses decision making sebuah brand. Bahkan ada sebuah riset yang menunjukkan bahwa kalangan millennial ternyata suka disuapin dengan informasi dari sebuah brand. Hanya saja permasalahannya adalah bagaimana cara brand menginformasikan hal tersebut.

“Bisa jadi mereka mix dengan beberapa medium, seperti integrasi antara TV dan digital,” singkat Roy.

Ben Soebiakto selaku founder KapanLagiNetwork menilai, pertumbuhan digital akan terjadi pada tahun 2018, hanya saja trennya akan lebih pada content creation. Sementara traditional digital banner akan lebih stagnan kalau tidak mau dibilang ditinggalkan. Bahkan beberapa kliennya juga sudah ada yang mengalokasikan dananya pada inovasi pemasaran yang lebih tinggi, seperti content marketing.

“Ide content marketing dan native ads itu untuk engage dengan users. Kuncinya ada pada distribusinya juga. Influencer saat ini juga ada di banyak platform. Brand harus bisa mengikuti di mana konsumen dan influencer berada,” ujar Ben.

Manfaatkan Momentum

Tahun 2018 akan diwarnai dengan beragam event-event besar yang bisa menjadi momentum bagi  brand dan agensi iklan. Setidaknya ada dua event besar, yakni Piala Dunia 2018 di Rusia dan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Selain dua penyelenggaraan tersebut, perlu diingat pula bahwa ‘gong’ tahun politik akan dimulai di tahun 2018.

“Buat online news ada momen yang menolong seperti Pilkada dan jelang Pilpres. Kami prediksi ada growth sekitar 40% dengan isu politik sebagai pengangkatnya,” ujar Dian Gemiano, GM Marketing Group Digital Kompas Gramedia.

Sementara, Irfan Ramli melihat bahwa adanya tahun politik bukan jaminan akan ada kenaikan belanja iklan dari para pelaku politik. Namun, ia melihat pemerintah akan melakukan belanja iklan melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pariwisata.

“Politik sendiri tidak bisa ditebak dengan baik, karena banyak kedekatan dengan pelaku media sehingga sulit untuk dihitung secara pasti. Sebelum tahun 2019, spending politik akan naik, sebesar apa dampak ke media dan biro iklan, saya masih sangsi karena tahun sebelumnya juga biasa-biasa saja,” ujar Irfan.

Loyalnya proyek properti Meikarta milik Lippo Group dalam beriklan diprediksi akan membuat rangsangan di kalangan pelaku properti di Indonesia.

Selain properti, industri otomotif, khususnya roda empat akan mengalami penurunan. Namun, lain halnya pada otomotif roda dua. Sedangkan sektor online commerce juga diprediksi akan semakin loyal dalam membelanjakan iklan baik di media digital dan konvensional media. Untuk sektor telekomunikasi, khususnya yang berkaitan dengan penyedia jasa jaringan, belanja iklan akan stagnan.

Sementara Roy melihat, yang dimaksud penurunan belanja iklan bukan dalam artian mengurangi anggaran secara frontal. Sebaliknya, penurunan diartikan belanja iklan tetap tumbuh namun tidak secepat seperti sebelumnya. Hal ini terjadi pada sektor FMCG, yang memilih waktu tepat untuk mengeluarkan anggaran iklan mereka.

Di tengah makin variasinya medium yang ada, kombinasi online dan offline pun menjadi penting. Merek harus bisa hadir di tengah konsumen di mana dan kapan pun. Namun, satu hal yang tidak boleh terlupa, merek juga harus bisa menghadirkan konten yang cepat, mengena, dan dinamis.

Related

award
SPSAwArDS