Berdasarkan studi Indonesia Native Advertising & Influencer Marketing Report 2018 yang dikeluarkan oleh GetCraft, menunjukkan bahwa brand mengalokasikan 20-30% dari total anggaran pemasaran mereka untuk komunikasi lewat media digital. Native ads tercatat mendapatkan porsi paling besar, atau diperkirakan sekitar sepertiga dari total pengeluaran brand. Hal ini membuat optimisme para influencers untuk mendapatkan kenaikan pendapatan sebanyak dua sampai lima kali lipat.
Nilai anggaran pemasaran secara rerata sendiri diperkirakan tidak akan banyak berubah. Hanya saja para brand akan lebih memprioritaskan native ads sebagai pilihan aktivitas pemasaran. Tercatat, dana yang ditempatkan brand untuk native ads akan mencapai 16% pada 2018, dibandingkan hanya 9% pada tahun ini. Pos berbayar di media sosial (paid social media posts) merupakan prioritas utama bagi para brand, dengan 65% dari keseluruhan responden studi GetCraft merencanakan untuk melakukan kegiatan marketing ini lebih banyak tahun depan. Prioritas-prioritas lainnya termasuk iklan pencarian berbayar (paid search ads) sebanyak 53%, influencer marketing (51%), dan konten berbayar (branded content) sebanyak 40%.
“Pergeseran anggaran menuju native ads menunjukkan adanya pengakuan oleh para marketers bahwa kenyataannya, mendapatkan perhatian audience menjadi makin sulit tiap harinya. Pertumbuhan native ads membuat brand mendapatkan pilihan solusi periklanan yang lebih baik,” ujar Patrick Searle, Co-founder dan Group CEO GetCraft.
Prediksi optimistis ini juga tercermin dari media dan influencers. Sekitar 47% dari influencers berharap kenaikan pendapatan setidaknya dua kali lipat pada 2018. Bahkan, 13% dari total influencers memiliki ekspektasi kenaikan pendapatan hingga lima kali lipat di tahun depan. Sementara itu, 77% penerbit dan media mengharapkan native ads menghasilkan lebih dari setengah total pendapatan mereka tahun ini.
Dalam white paper-nya, GetCraft menyatakan bahwa pengiklan mengeluh tentang kualitas konten yang menandakan adanya keinginan untuk mengontrol cara influencers penyampaian pesan brand mereka. Kesimpulan ini didukung oleh fakta bahwa pihak penerbit atau media mengeluhkan tentang kurangnya pemahaman brand mengenai bagaimana native ads bekerja secara ideal.
“Brands harus bisa lebih mempercayai rekan konten mereka. Saat mereka memaksakan suara, gaya penyampaian pesan brands kepada para penerbit atau media dan influencers, mereka sebetulnya melakukan hal yang sepenuhnya bertentangan dengan definisi native advertising,” ujar Anthony Reza, Co-Founder dan CEO GetCraft.
Keinginan kuat dan terus menerus dari para brand untuk mengontrol konten juga bisa menjadi salah satu penyebab di balik permintaan revisi mendadak kepada pihak influencers. Seperti yang juga dikeluhkan oleh para influencers. Akan tetapi, permasalahan terbesar bagi mereka adalah keterlambatan pembayaran.
Editor: Eko Adiwaluyo