Daerah perbatasan merupakan wilayah yang rentan dengan masalah kecemburuan sosial. Selain perbatasan, wilayah yang rentan dengan kecemburuan sosial adalah wilayah pedalaman. Meskipun begitu, menurut sosiolog Imam Prasodjo, ada perbedaan apa yang dihadapi oleh masyarakat pedalam dan perbatasan.
“Apabila dikaitkan dengan masalah termarjinalkan keduanya memang sama. Namun, wilayah perbatasan lebih rentan karena terdapat kompetitor negara asing,” ujar Imam dalam Forum Terbuka MarkPlus Center for Public Service di kantor MarkPlus, Jakarta, Selasa (8/9/2015).
Kehadiran negara tidak cukup dengan pembangunan infrastruktur saja. Alasannya, wilayah perbatasan sangat rentan dengan faktor ekonomi, sosial, dan kultural. Akan ada masalah besar apabila negara dalam hal ini tidak bisa hadir dan menyentuh masyarakatnya di perbatasan.
“Meskipun wilayah perbatasan penduduknya tidak banyak, apabila pemerintah gagal membangun kesejahteraan di sana, artinya pemerintah tidak peduli dengan nasib mereka. Hal tersebut akan rentan dan mudah dimanfaatkan oleh negara lain,” katanya.
Menurut Imam, apa yang dihadapi oleh masyarakat perbatasan bukanlah permasalahan fisik. Melainkan permasalahan sosial, pendidikan, dan ekonomi. Produk yang dikonsumsi oleh masyarakat perbatasan seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara banyak dikuasai oleh produk asal Malaysia. Produk Indonesia akan tamat di sana.
“Kehadiran produk asal Indonesia itu secara simbolis penting. Tapi, apabila tidak memberikan manfaat dalam hal ini harganya mahal untuk dikonsumsi, masyarakat perbatasan akan lebih memilih produk asal Malaysia,” tutup Imam.