Tak Perlu Latah, Tidak Semua Produk Cocok Gunakan Pendekatan K-Pop

marketeers article
Ilustrasi budaya pop Korea Selatan. Foto: www.123rf.com

Dalam dua dekade terakhir, gelombang budaya pop asal Korea Selatan yang disebut Korean Wave atau Hallyu semakin membesar. Fenomana ini terjadi hampir di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tak urung, banyak merek, baik lokal dan global sekalipun, yang mencoba peruntungan dengan menaiki Hallyu dan menggiringnya sebagi strategi pemasaran.

Fenomena penggunaan Korean Wave sebagai pendekatan pemasaran di Indonesia terbilang wajar. Mengingat, pengaruh penggunaan artis Korea Selatan dalam purchasing sangat tinggi di Indonesia. Hal ini mendapat afirmasi dari riset yang dilakukan oleh Korean Foundation for Internatioanl Cultural Exchange (KOFICE).  Dalam riset KOFICE bertajuk 2021 Global Hallyu Trends, di antara negara-negara di kawasan Asia dan Oceania, konsumen Indonesia paling terpengaruh oleh Hallyu.

Riset tersebut menunjukkan bahwa konsumen Indonesia paling terpengaruh untuk membeli dan menggunakan produk Korea Selatan dibanding negara-negara lain di kawasan Asia-Oceania. Tingkat keterpengaruhan Indonesia di angka  4,04 dari skala 0-5. Disusul oleh India dengan angka 3,99, China 3,86, Vietnam 3,85, dan lainnya.

Meski begitu, menurut Bayu Sutikno Dosen dan Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FEB UGM, tidak semua orang bisa serta merta membeli suatu produk yang menggunakan pendekatan budaya pop Korea Selatan, walaupun mereka adalah penggemar Hallyu. Termasuk, Generasi Z yang memiliki karakter lebih independen dan cenderung lebih rasional dalam konsumsi.

“Menurut saya ini tergantung dari kategori produknya. Untuk produk-produk yang high involvement, orang cenderung melihat dari basic value yang ditawarkan, baik value dari produk dan value dari perusahaanya. Tapi, untuk low involvement product, seperti fesyen dan lifetyle akan lebih mudah diserap. Jadi, kalau untuk produk otomotif, misalnya, penggunaan artis Hallyu lebih untuk menguatkan strategi pemasaran yang sudah mereka bangun,” kata Bayu.

Ia menambahkan penggunaan brand ambassador dari artis Korea Selatan, baik oleh merek-merek  produk konsumer dan non-konsumer, tidak otomatis atau jaminan sukses di pasar. Menurutnya, para marketeer harus kembali memerhatikan teori brand personality congruence. Dalam teori tersebut ada empat unsur pembentuk, yakni citra perusahaan, citra produk, citra dari brand ambassador-nya, dan citra yang diharapkan oleh konsumen.

“Keempat hal itu harus selaras. Setiap merek harus memilih brand ambassador yang selaras dengan brand image yang ingin dibangun. Lalu, brand ambassador itu untuk menggarap segmen konsumen yang ingin membentuk citra diri yang sama pula,” jelasnya.

Sebagi contoh, sebuah merek yang ingin membentuk citra peduli lingkungan pasti mencari brand ambassador yang juga memeliki kepedulian yang sama. Lalu, membidik atau membentuk konsumen yang juga peduli lingkungan atau sedang ingin membangun citra diri sebagai orang yang peduli lingkungan.

Namun begitu, para marketeer harus benar-benar berhati-hati dan menimbang dengan tepat ketika menggunakan brand ambassador, terutama artis Korea Selatan. Sebab, loyalitas para fandom atau fans K-Pop, bukan pada merek, tapi pada artisnya.

“Bisa jadi, ketika artisnya pindah merek, para fandom juga akan berpindah ke merek berikutnya yang menggunakan artis tersebut. Bahkan, dalam hal brand advocacy belum tentu advokasi itu untuk merek, tapi justru untuk artisnya,” tambah Bayu.

    Related