Oleh Fahra Affifa, Associate Quantum Consumer Solutions Indonesia
Beberapa tahun belakangan, jagat media sosial diwarnai dengan berbagai fenomena kultural yang kental dan distingtif di kalangan anak muda. Hal ini ditandai dengan bentuk ekpresi diri melalui partisipasi aktif dalam kreasi konten digital. Misalnya saja, tren tarian pargoy (singkatan dari partai goyang), hingga Citayam Fashion Week. Kemunculan banyaknya budaya populer di kancah media sosial kini tidak lain didukung oleh masifnya adopsi dan rahasia strategi TikTok di Indonesia.
TikTok yang merupakan kanal video pendek garapan perusahaan teknologi Cina, ByteDance pertama kali diluncurkan di Indonesia pada akhir tahun 2017. Sempat melewati berbagai halangan -mulai dari pemblokiran pada tahun 2018, hingga pelekatan stigma sebagai aplikasi ‘joget-joget tidak mendidik’–, kini pengguna aktif TikTok di Indonesia mencapai 99,1 juta orang.
Indonesia bahkan menempati posisi kedua sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat. Meskipun 40% dari pengguna TikTok datang dari kelompok umur 16-25 tahun, pertumbuhan adopsi di kalangan kelompok usia yang lebih tua secara konsisten terus naik. Fenomena ini membuktikan kemampuan platform tersebut dalam melayani konsumsi digital lintas generasi.
Melesatnya pertumbuhan media sosial TikTok tentu tidak lepas dari pergeseran perilaku konsumsi media masyarakat. Media sosial kini merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan sehari-hari. Konsumsi konten digital kian tidak dapat terelakkan, dan telah menjadi bagian dari rutinitas harian sejak kita bangun pada pagi hari hingga terlelap pada malamnya.
Signifikansi dari media sosial akhirnya telah membuka gelanggang baru bagi para perusahaan teknologi, pelaku bisnis, maupun khalayak itu sendiri untuk berlomba-lomba meraup keuntungan dari sumber daya yang kian lama langka, yaitu atensi. Hal ini dijelaskan oleh pakar ekonomi dan psikologi Herbert A. Simon sebagai ‘Ekonomi Atensi’.
Simon melihat atensi sebagai ‘mata uang’ atau sumber daya yang berharga akibat dari bombardir informasi yang berujung pada semakin terbatasnya rentang perhatian khalayak.
Di sisi lain, atribut utama media sosial TikTok, yaitu video vertikal pendek berdurasi 15-60 detik, telah menjadikan platform tersebut sebagai aktor terkuat dalam arena perebutan atensi ini. Namun, format konten video tersebut tentu bukanlah satu-satunya kunci kesuksesan TikTok. Lebih dari itu, terdapat konstelasi yang mendetail antara algoritma, desain pengalaman pengguna (UX), dan kekayaan konten.
Algoritma dan konten yang terpersonalisasi
Algoritma TikTok merupakan kunci sentral dalam operasi platform tersebut. For You Page (FYP), halaman beranda yang digerakkan oleh algoritma ‘misterius’ TikTok menawarkan pengalaman konsumsi video dalam jumlah yang tidak terbatas dan terpersonalisasi mengikuti preferensi pengguna.
“My FYP is getting too specific!”, menjadi ekpresi yang lazim ditemukan di kolom komentar video TikTok. Ekspresi ini menggambarkan kekaguman pengguna atas penemuan video-video yang mereka anggap merepresentasikan diri mereka dengan begitu spesifik.
Desain UX yang memungkinkan konsumsi pasif
Formulasi algoritma media sosial TikTok kemudian disokong oleh desain pengalaman pengguna (user experience/UX) yang efektif dalam memantik atensi khalayak. TikTok menyajikan tampilan halaman depan yang berbeda dibandingkan dengan platform lain seperti Instagram dan YouTube. Saat membuka platform lain, kita akan disambut dengan berbagai pilihan fitur dan konten yang mengharuskan kita untuk mengambil berbagai keputusan.
Misalnya di YouTube, “video YouTube apa yang ingin saya lihat hari ini?” atau Instagram dengan “haruskah saya lihat Story atau Feed Post yang teman saya unggah?”
Sementara itu, TikTok akan langsung menyambut kita dengan konten video acak yang telah dipilih oleh algoritmanya – menghilangkan proses pengambilan keputusan yang harus kita lalui saat membuka platform lain. Desain FYP yang menaruh titik fokus pada satu video dengan format layar penuh dan minimnya tampilan tombol juga ampuh dalam menarik atensi pengguna.
Eliminasi pengambilan keputusan ini akhirnya memungkikan konsumsi pasif khalayak dan memikat pengguna untuk untuk menghabiskan waktu berjam-jam menggulir halaman FYP.
Kekayaan konten hiburan dan informasi
Sebelumnya hanya diasosiasikan dengan video dance dan lip-sync yang secara khusus dilekatkan pada kelompok remaja, kini TikTok telah menjelma menjadi sumber utama terhadap hiburan dan informasi.
Stigma sebagai platform remaja ‘alay’ dan ‘tidak mendidik’ kian telah terlepas dari platform tersebut. TikTok kini berusaha memosisikan dirinya sebagai ‘lebih dari aplikasi joget-joget’. Langkah awal media sosial TikTok dalam reposisi citra mereka dapat dilihat dari kampanye #BelajardiTikTok pada tahun 2020.
Secara gamblang, TikTok mengangkat nilai edukasi platform tersebut dengan mengajak khalayak untuk tidak hanya mencari dan membagikan konten hiburan, tetapi juga mempelajari hal baru, memperoleh berbagai keterampilan, dan mendapatkan banyak inspirasi kreatif. Hal ini nyatanya efektif. Secara konsisten, TikTok menggeser citranya dan terus menarik partisipasi dari berbagai lapisan masyarakat.
Dilansir dari TechCrunch, studi yang dikemukakan oleh Google bahkan menyatakan bahwa 40% dari khalayak muda di AS kini beralih dari mesin pencarian Google ke TikTok dalam pencarian informasi, terutama dalam referensi gaya hidup, seperti tempat makan. Dalam hal ini, lazim bila TikTok kini secara luas dikenal sebagai one stop place yang tidak hanya menyediakan hiburan, tetapi memfasilitasi kebutuhan khalayak luas akan informasi.