Tak Semua Orang Tionghoa Paham Chinese Food

marketeers article
Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengan Tiongkok sejak zaman penjajahan VOC, tentu tak asing dengan chinese food. Tak hanya dikenal sebagai makanan pinggir jalan (street food), restoran-restoran chinese kini mudah ditemui di mal-mal Ibukota. Seiring perkembangan chinese food di Indonesia, pemilik restoran mulai melakukan spesifikasi tertentu terhadap menu yang ditawarkan.
 
CEO Boga Group Kusnadi Rahardja mengatakan, tren kuliner telah bergeser dari restoran umum ke restoran yang menawarkan menu-menu spesifik. Tren ini dipicu oleh fenomena restoran Jepang yang sejak tiga tahun lalu mulai melakukan klasifikasi berdasarkan jenis masakan, seperti restoran ynga khusus menjual ramen, tempura, soba, bahkan unagi. “Saya melihat tren itu terjadi juga dalam chinese food. Sama seperti masakan Indonesia, saat ingin masakan Minang, kita pergi ke restoran Padang. Untuk menikmati masakan Jawa Barat, pergi ke restoran Sunda,” paparnya.
 
Boga Group melakukan spesialisasi masakan chinese berdasarkan wilayah dimana masakan itu berasal. Sebab, dengan luas yang begitu besar, negeri Tiongkok memiliki budaya dan sejarah kuliner yang berbeda. Kondisi itu, menurut Kusnadi, masih belum dipahami oleh kebanyakan konsumen Indonesia, bahkan oleh konsumen etnis Tionghoa itu sendiri.
 
“Mereka hanya mengenal chinese food is chinese food. Padahal, chinese food memiliki ragam dan cita rasa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Saya rasa, konsumen Tionghoa di Indonesia tidak melihat itu sebagai suatu hal yang berbeda,” tuturnya.
 
Boga Group memiliki tiga merek restoran dining yang menawarkan menu chinese food. Pertama, Paradise Dynasti, mengusung konsep masakan Tiongkok Utara dimana jenis masakannya banyak menggunakan gandum ataupun mi. Biasanya, masakan jenis ini berkembang di daratan Beijing dan Shanghai. Cita rasa masakan Utara lebih pedas dari yang lain, karena banyak menggunakan ma la atau cabe Tiongkok.  
 
“Di Tiongkok Utara, lebih banyak menggunakan gandum. Mengapa? karena iklim di sana cukup dingin, sehingga padi tidak bisa tumbuh. Alhasil, mereka mengandalkan gandum sebagai sumber karbohidrat. Sedangkan di Tiongkok Selatan, beras menjadi makanan yang umum,” terangnya.
 
Kedua adalah Paradise Inn yang lebih menawarkan sajian home cooking alias masakan yang bisa dikreasikan di rumah. Menunya sederhana, seperti sup, ayam goreng, cumi, dan tahu. Ketiga yaitu Canton Pardise, yang menyajikan masakan Kantonis, atau masakan yang berasal dari wilayah Guangdong di Tiongkok Selatan. Masakan Kanton sangat populer di hampir semua negara dunia, termasuk Hong Kong, seperti di antaranya nasi goreng, bubur, dan dim sum. Metode memasak Kanton pun dianggap paling mudah dan cepat, seperti menumis, mengukus, dan menggoreng. 
 
Tak hanya berbeda secara jenis masakan, Kusnadi bilang, ketiga restoran itu juga mengusung spesialisasi masakan tertentu. Misalnya, Paradise Dynasti menawarkan kesempatan para konsumen untuk menikmati makanan khas rakyat Tiongkok, yaitu xiao long bao dengan delapan warna dan rasa berbeda, seperti kepiting telur, keju, bawang putih, herbal, ma la, foie gras (hati angsa), dan truffle hitam
 
“Sedangkan Paradise Inn lebih menonjolkan menu sup yang beragam, seperti Teochew Prawn Roll, Hotplate Tofu, dan Egg Trio Spinach,” ujar Kusnadi yang juga menjadi CEO dari PT Sushi-Tei Indonesia ini.
 
Kusnadi menolak menyebut etnis Tionghoa sebagai target konsemen utamanya. Namun, ia mengakui bahwa masyarakat Tionghoa kerap bertandang ke restorannya, khususnya untuk menyantap hidangan non halal. Satu yang menjadi catatan Kusnadi adalah masyarakat Tionghoa sangat gemar makan bersama keluarga. Di dalam tradisi Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan. Karenanya, interior yang diusung Boga Group untuk ketiga restorannya itu sangat mengakomodir filosofi tersebut, yaitu dengan menyajikan meja makan melingkar yang membuat komunikasi antaranggota keluarga semakin lebih mudah.
 
Memang, dibandingkan dengan merek restoran Boga lainnya seperti Bakerzin, Pepper Lunch dan Master Wok, Boga cukup sangat selektif mengembangkan jaringan restoran chinese food-nya itu. Dengan positioning serta profil konsumen yang unik, Boga Group hanya memboyong ketiga restorannya itu ke kota-kota yang memiliki demografi yang sama. Saat ini, ketiga restoran itu baru memiliki lima gerai, dengan rincian tiga gerai Paradise Dynasti, satu Pardise Inn, dan satu Canton Paradise.
 
“Ketiga restoran itu memang tidak bisa hadir di seluruh nusantara. Paradise cukup unik karena pelanggannya mengonsumsi masakan non halal. Kami akan kembangkan merek ini ke Medan, Surabaya, Bali, dan juga Jakarta,” ucap lelaki yang dulu sempat menjadi Wakil Direktur salah satu perusahaan distribusi farmasi terkemuka di Indonesia.
 

Dengan memiliki lebih dari 100 gerai di Indonesia, Boga Group membawahi tujuh merek, yaitu Paradise Dynasti, Paradise Inn, Canton Paradise, Bakerzin, Pepper Lunch, Master Wok, dan Boga Catering. Selain itu, Boga juga menaungi merek pakaian anak-anak Poney. Tahun ini, Kusnadi menargetkan pendapatan perusahaaan bisa tumbuh 8% dari tahun sebelumnya. Tahun ini pula, Boga berencana menambah tiga wilayah ekspansi, yaitu Pekanbaru, Balikpapan, dan Manado.

Related

award
SPSAwArDS