Industri kelapa sawit memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Pada tahun 2019 misalnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor kelapa sawit mencapai lebih dari US$ 20 miliar terhadap ekonomi dalam negeri. Sedangkan tahun ini, per September 2020, industri migas mengalami surplus hingga US$ 18 miliar di mana US$ 15,5 miliar berasal dari kelapa sawit.
“Indonesia menjadi pemimpin pasar ekspor minyak kelapa sawit dengan lebih dari 100 negara sebagai destinasi ekspor termasuk China, India, dan Belanda. Dan, saat ini Indonesia tengah menguatkan pasar kelapa sawit baik domestik melalui program Biodiesel untuk mengimbangi nilai ekspor,” ujar Wakil Presiden Direktur Astra Agro Lestari Joko Supriyono dalam gelaran acara MarkPlus Conference 2021, Kamis (10/12/2020).
Joko melanjutkan, terdapat banyaknya kampanye untuk melarang penggunaan kelapa sawit. Kampanye ini banyak dimotori oleh negara Eropa dan Amerika. Ini menjadi persoalan serius karena minyak kelapa sawit banyak sekali digunakan pada produk makanan. Jika produksi dihentikan dikhawatirkan dapat berakibat pada kebutuhan pangan dunia.
“Dulu palm oil market share-nya hanya 15% namun selama beberapa tahun terakhir palm oil terus berkembang pesat. Pada tahun 2017-2018 market share palm oil mencapai lebih dari 30%. Mungkin ini yang menjadi alasan mereka membuat restriction untuk kelapa sawit baik tarif maupun non-tarif,” kata Joko
Tantangan yang dihadapi industri kelapa sawit berdampak pada penurunan harga komoditas minyak sawit mentah (CPO) setiap tahunnya yang akhirnya juga berakibat pada kesejahteraan petani sawit. Eddy Abdurachman, Direktur Utama BPDPKS mengatakan, berbagai kebijakan pun dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kinerja sektor sawit di Indonesia.
Pertama, dengan memperhatikan kesejahteraan petani dengan melakukan peremajaan kebun sawit milik masyarakat serta melakukan riset untuk meningkatkan peningkatkan kualitas benih. Kedua, melakukan stabilisasi harga CPO dengan dukungan pendanaan Biodiesel, mempertahankan dan memperluas pasar domestik, serta menyusun kebijakan berdasarkan riset pasar dan produk.
“Terakhir adalah mempekuat industri hilir dengan riset dan pengembangan program konversi sawit menjadi Bio-Hydrocarbon Fuel serta dukungan riset dan insentif untuk industri oleokimia,” pungkas Eddy.
Joko menuturkan, setiap tahunnya permintaan minyak sawit selalu mengalami kenaikan. Dibutuhkan setidaknya 5 miliar tambahan pasokan minyak nabati untuk memenuhi permintaan. Minyak sawit pun menjadi salah satu yang paling diandalkan dalam produk pangan.
Untuk tetap memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit dunia, Joko mengatakan, produksi kelapa sawit harus mengutamakan perkebunan yang sustainability. Indonesia pun menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) yang merupakan kebijakan dari Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing minya sawit di pasar dunia serta memberi perhatian pada masalah lingkungan.
“Sebetulnya berbicara mengenai masalah lingkungan, kelapa sawit memberikan kontribusi terhadap lingkungan. Hutan kelapa sawit dapat menyerap karbondioksida hingga 8 ton per tahunnya. Lebih tinggi dibandingkan hutan alam yang hanya 6 ton per tahun,” tambah Eddy.
Musi Banyuasin menjadi salah satu daerah di Indonesia yang memproduksi minyak sawit melalui program Muba Sustainable Palm Oil Initiatif. Sampai pada tahun 2018, total perkebunan kelapa sawit di Musi Banyuasin mencapai 478.202 Ha dengan komposisi 295.739 Ha berasal dari korporasi sedangkan 182.463 Ha milik smallholders.
Dodi Reza Alex, Bupati Kabupaten Musi Banyuasin mengatakan, dalam program Muba Sustainable Palm Oil Initiatif, Muba akan berfokus pada peningkatan produktivitas dengan replanting untuk mencegah deforestasi yang tengah menjadi isu yang krusial.
Sementara itu, untuk memberikan nilai tambah bagi petani di komoditas minyak sawit, Pemerintah Kabupaten Muba juga akan meningkatkan produk bahan bakar industrial vegetable oil (IVO) yang bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB)
Dodi mengatakan, IVO merupakan produk sawit untuk energi berkelanjutan. Ia optimistis BBM dari sawit tersebut dapat diproduksi secara massal dengan harga terjangkau.
Editor: Ramadhan Triwijanarko