Sejak kesepakatan untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai satu pasar yang sama, masing-masing negara, yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, dan Singapura, berusaha menjadikan dirinya sebagai ASEAN Fashion Hub Capital. Meski begitu, hingga kini belum ada dari negeri-negeri itu yang berhasil mengusung positioning tersebut.
Selama ini, Singapura memposisikan dirinya sebagai destinasi belanja produk barang mewah. Namun, positioning yang lama dipakai Singapura itu lambat laun mulai meluntur akibat ekspansi merek-merek besar ke negara ASEAN lainnya.
Indonesia dan tetangga terdekatnya Malaysia memposisikan dirinya sebagai pusat mode muslim yang menargetkan sekitar 40% dari pasar ASEAN dengan mayoritas berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
Sedangkan Filipina, meskipun negara ini telah membangun industri fesyen lokal, masih sulit mengembangkannya ke dalam pasar global, lantaran lokasi geografisnya yang membuat sulit untuk melalukan perdagangan dan distribusi.
Sedangkan Thailand, negara yang dikelilingi oleh pasar perbatasan negara ASEAN, seperti Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam dianggap sebagai ancaman banyak negara, termasuk Indonesia.
Pakar Pemasaran Indonesia Hermawan Kartajaya, mengakui Thailand merupakan salah satu ancaman paling kuat bagi pelaku fesyen Tanah Air. “Thailand cukup berbahaya karena barang-barangnya cukup kreatif. Pemerintahnya tengah mendorong ekspor. Serta ritelnya pun sudah berani menjajakannya ke Indonesia,” kata Hermawan saat menjadi pembicara seminar bertajuk Marketing Indonesian Fashion to The World di Indonesia Fashion Week 2015, di Jakarta Convention Center, Kamis (26/2/2015).
Menurut Hermawan, selain Thailand, Filipina juga salah satu rival terberat dalam ASEAN. Pemain lokal di sana cukup kreatif dan berani untuk berbahasa Inggris. “Orang Filipina lebih terbuka dan berjiwa internasional. Itu juga modal yang cukup kuat dimiliki Filipina dalam berusaha,” ucapnya.
Lantas bagaimana dengan produk fesyen asal Malaysia? Hermawan bilang produk asal Malaysia tidak berpengaruh signifikan terhadap pasar domestik. Hal ini karena masih adanya sentimen negatif anti Malaysia dari masyarakat lokal. Selain itu, produk fesyen muslim Malaysia masih cukup tradisional di kategorinya. Beda dengan Indonesia yang sudah modern dan mengadopsi tren global.
“Setidaknya, kalau ada barang buatan Malaysia, orang akan sungkan membeli. Namun, saya belum tahu apa yang akan terjadi di industri otomotif, setelah pemerintah bekerja sama dengan salah satu mobil Malaysia untuk membuat mobil nasional,” tuturnya.
Bagi Hermawan, Indonesia dengan bonus populasi serta keragaman budayanya, menjadi target besar bagi para desainer fesyen untuk mengeruk peruntungan di negeri sendiri. Inspirasi pun bisa datang dari Sabang sampai Merauke. Di sana, terbentang luas budaya Indonesia yang beragam.
“Di MEA, pelaku fesyen juga harus waspada akan gempuran fesyen Tiongkok. Barang buatan Tiongkok kini mulai ada merek besar yang menjamin, seperti Apple. Di sana, sudah barangnya kreatif, harganya murah,” imbuh Hermawan.
Hermawan melanjutkan, peta persaingan industri fesyen di MEA nantinya harus dijadikan sebagai arena siapa yang paling kreatif. Indonesia harus menerima tamu-tamu ASEAN tersebut untuk masuk dan memasarkan produknya ke Indonesia. “Begitu juga sebaliknya. Indonesia diberikan kesempatan masuk ke negara ASEAN lain. Namun, kalau tidak kreatif dan tidak produktif, Indonesia akan kalah saing,” paparnya.
Hermawan mengatakan, pelaku fesyen dalam negeri juga harus peka terhadap anxiety & desire konsumennya. Tidak sebatas membuat produk dan servis yang sedang dibutuhkan dan diinginkan, namun sudah memberikan produk atau servis yang mampu memberikan jawaban atas kecemasan dan impian konsumen (anxiety and desire).
“Jika telah mencapai itu, itulah yang kami sebut Marketing 3.0. Sebab, anxiety dan desire itu tidak pernah diutarakan secara langsung, tapi konsumen sebenarnya sangat menginginkan itu. Nah, kalau sekadar produk, semua bisa mengikuti,” cetusnya.