Kondisi perekonomian Indonesia tahun 2015 ini memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan kondisi perekonomian tahun 1998 dan 2008. Hal ini dikatakan oleh pengamat ekonomi A. Prasetyantoko. Menurutnya, pada tahun-tahun tersebut, situasi ekonomi penuh dengan dinamika. Bisa dibilang bahwa tiga tahun berikut, yakni tahun 1998, 2008, dan 2015 merupakan big event ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Saat ini, lanjut Prasetyantoko, nilai tukar rupiah terhadap dolar di atas Rp 14.000. Pada tahun 2008, nilai tukar rupiah sekitar Rp 12.500, dan paling buruk pada tahun 1998, yaitu Rp 15.000. Depresiasi saat ini berkisar di angka 11%, sedangkan tahun 2008 sebesar 30% dan tahun 1998 mencapai 200%.
“Tahun 1998, rupiah Rp 2.500 meluncur bebas manjadi Rp 15.000. Jelas ini berbeda dengan situasi yang sedang kita hadapi yang mana depresiasi rupiah tidak sebanyak tahun 1998. Bisa dikatakan saat ini situasi ekonomi hampir mirip dengan situasi pada 2008,”papar Prasetyantoko dalam Konferensi Pers Indonesia Knowledge Forum di Jakarta, Senin (7/9/2015).
Meski mengalami pukulan berat pada tahun 2008, sambung Prasetyantoko, tapi setelah itu Amerika melakukan quantitative easing dan di Jepang ada proyek yang memompa likuiditas dengan suku bunga nol. Sehingga, sebagian likuiditas masuk ke negara-negera berkembang, termasuk Indonesia. “Namun, hari ini keadaan berbeda. Likuiditas malah kembali lagi ke negara maju. Bahkan, ekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga pada tahun ini dan ini akan menyedot likuiditas dari negara berkembang,” jelas Praseytantoko.
Ia menekankan, ada dua tantangan utama yang harus dihadapi Indonesia. Pertama, external liquidity akan lebih berat, sehingga membutuhkan upaya untuk mengkapitilisasi internal liquidity. Lebih lanjut, ia mengatakan, semakin negara bergantung pada external financing, maka makin riskan pada goncangan. Salah satu yang harus didorong meskipun bukan jangka pendek adalah mengkapitalisasi internal financing dengan cara financial deepening dan financial inclusion. “Intinya modal domestik ekonomi mesti dikapitalisasi, sehingga ketergantungan terhadap external financing ini akan semakin rendah,” paparnya.
Kedua, di mana-mana krisis ekonomi mampu menimbulkan inovasi. Ia memprediksi pertumbuhan tahun 2016 akan dibawah ekspektasi. Meskipun begitu, pertumbuhan tersebut lebih terkonsolidasi dan lebih solid. Hal ini bisa dil lihat dari daya saing yang lebih baik. Sebab itu, penting untuk kembali pada kebijakan industrial yang solid. Ia berharap dengan pemerintahan Jokowi saat ini mampu mendorong Indonesia kembali mengarah pada kebijakan industrial dengan adanya pembangunan dan pengembangan pada infrastruktur, maritim, pelabuhan, dan lainnya.
Editor: Eko Adiwaluyo