Tantangan Kabinet Baru Untuk Perekonomian Indonesia

marketeers article
22390680 national monument monas indonesia

Minggu lalu, Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan susunan kabinet baru yang akan membantunya selama masa pemerintahan periode 2019-2024. Sejumlah nama-nama baru muncul memberikan kejutan. Namun, beberapa posisi masih tetap diduduki oleh wajah lama. Salah satunya, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.

Menurut Kepala Ekonom DBS Indonesia Masyita Crystallin, penunjukkan kembali Sri Mulyani sangat positif di tengah kondisi global yang masih rapuh (volatile). Ia memprediksi kementerian akan melanjutkan manajemen anggaran yang baik dan melanjutkan reformasi fiskal. Reformasi fiskal akan tetap menjadi prioritas. Hal tersebut memang sangat diperlukan untuk Indonesia karena rasio pajak yang masih kurang dari 12% di bawah rata-rata negara lainnya. Untuk tumbuh lebih tinggi, Indonesia membutuhkan rasio pajak setidaknya 15%.

Terkait dengan kabinet baru secara keseluruhan, Masyita menilai kabinet ini memiliki kombinasi antara partai dan profesional yang cukup baik. Terlepas dari latar belakang para menteri di kabinet Jokowi yang baru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan visi Jokowi dapat tercapai, yaitu Indonesia menjadi negara kaya di tahun 2045. :

Pertama, untuk bisa menjadi negara kaya di 2045, Indonesia harus tumbuh di atas 6%. Hal ini hanya bisa dicapai jika mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia diperbaharui. Saat ini perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan dan China, tumbuh sekitar 4% selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi. Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi.

Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Terutama karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan. Masyita juga melihat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi Jokowi adalah reformasi kontinu, baik infrastruktur maupun infrastruktur lunak (kemudahan berbisnis). Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5% (manufaktur, nilai tambah yang lebih tinggi, diversifikasi jauh dari ekonomi berbasis komoditas), sambil mempertahankan stabilitas Rupiah (CAD berkorelasi positif dengan pertumbuhan karena kandungan impor ekspor dan investasi cukup besar).

Dengan permintaan domestik yang stabil, Indonesia dapat dengan mudah tumbuh di sekitar 5%. Meskipun yang menjadi tantangan adalah meningkatkan potensi pertumbuhan ke target pemerintah sebesar 6%. Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat mungkin berdampak pada pertumbuhan Indonesia. Namun, melihat pertumbuhan pada paruh pertama tahun 2019, stabilitas pertumbuhan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan emerging market Asia lainnya.

“Risiko utama dalam jangka pendek adalah terus menurunnya harga komoditas dan pertumbuhan investasi swasta yang lambat. Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid,” terangnya.

Dengan kondisi pertumbuhan yang lebih lambat, inflasi yang stabil dan rupiah yang relatif stabil, Bank Indonesia memiliki lebih banyak ruang untuk memangkas suku bunga kebijakan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan.

Bagi investor asing dan prospek bisnis asing, Masyita menilai bahwa posisi Indonesia di mata investor masih sangat baik,  potensi ekonomi negara yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi besar dan masih mendapat manfaat dari dividen demografis.

Pandangan Kepala Ekonom DBS Indonesia, rupiah cenderung stabil hingga akhir tahun dengan asumsi aliran modal dan neraca perdagangan stabil. Rupiah diprediksi akan tetap sekitar 14.200-14.400 dan sedikit terdepresiasi pada tahun 2020 karena percepatan pembangunan infrastruktur dibandingkan tahun 2019.

Editor: Sigit Kurniawan

Related