Teh Point O adalah #tehpokil

marketeers article

Bukan tanpa alasan kalau saya menyebut teh oplosan saya dan istri saya ini sebagai teh point O. Sederhana saja alasannya: sebab teh itu ramai di Twitter lantaran kicauan beberapa teman praktisi social media seperti Mbak Ventura Elisawati, Kang Nukman Lutfie, Mas Budiono Darsono, Mas Didi Nugrahadi dan masih banyak lagi. Mbak Ve merupakan orang yang getol dan rajin ‘menghardik’ agar saya jualan teh oplosan.

Mbak Ve cerita, banyak temannya penasaran ingin mencoba setelah membaca testimoninya di Twitter. Dan, kian ramai pembeli setelah Pak Bondan ‘Maknyus’ Winarno ikut memberi ‘stempel’ via Twitter. Malah, setahun silam, Mas Wasis Gunarto, manajer Kopitiam Oey berani mengumumkan di Twitter bahwa di restoran yang dikelolanya akan segera menyediakan menu baru, Teh Blontang, padahal saya belum dihubungi.

Saya merasa sangat tersanjung teh racikan saya bisa menjadi salah satu andalan KopitiamOey, walau Pak Bondan tak setuju menggunakan nama #tehpokil lantaran berkonotasi buruk. Asal tahu saja, pokil adalah bahasa Jawa yang berpadanan dengan curang, akal-akalan. Saya sendiri, dengan sadar menyebutnya #tehpokil sebab saya memang akal-akalan, meramu beberapa merek teh yang tersedia di pasaran untuk menghasilkan rasa baru.

Kebetulan, saya suka meramu beberapa merek sejak 24 tahun silam, ketika saya menginjakkan kaki dan menetap di Solo. Hobi begadang, wedangan di angkringan, menghasilkan pengalaman baru, bahwa hampir tiap angkringan, bahkan catering di Solo selalu punya ‘resep’ teh yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan itu, konon merupakan tradisi di dalam kraton, di mana ada abdi dalem yang khusus menyediakan minuman, yang disebut jayèngan. Ya, sampai kini, jika Anda mendengar kata ‘jayengan’ disebut, itu berarti bagian memasak teh dan aneka minuman dalam sebuah pesta.

***

Kembali pada asal-muasal popularitas #tehpokil, sebab saya suka membawa oleh-oleh yang berbeda setiap bepergian. Setiap ke Jakarta, saya selalu mampir dan sering tidur di markas Dagdigdug.com di Langsat. Saya membawa buah tangan khas, teh racikan saya, yang ternyata direspon positif oleh para pemilik lidah manja di sana: Mas Didi, Mbak Ve, Mas Yusro, dan Paman Tyo.

Karena dipaksa jualan oleh Mbak Ve, dan sebab populer di Twitter, maka #tehpokil saya namai dengan Ver. 2.0, sekadar untuk ‘ikut arus’ dunia web yang sudah bergeser dari 1.0 ke 2.0. Dan uniknya, pesanan terus meningkat karena testimoni banyak tokoh-tokoh penting di dunia socmed. Mas Budiono Darsono, bahkan suka diam-diam membawa #tehpokil ke setiap perjalanan ke luar kota. Dia bahkan bisa disebut sebagai salah satu orang penting di balik sukses pasar #tehpokil. Tiba-tiba kirim pesan minta nomor rekening dan mengirim uang dalam jumlah besar, membeli di atas ‘harga pasar’.

Meski belum besar-besar amat, omzet #tehpokil terus meningkat. Keuntungan penjualan bisa menopang hidup, sehingga saya bisa fokus dan konsentrasi ngeblog dan ikut-ikutan mengurus komunitas blogger di Solo. Tentu saja, saya senang karena support luar biasa dari istri saya, yang belakangan paling antusias mendorong untuk rebranding, dari #tehpokil menuju nama brand baru: blontea.

Bisa dibilang, setiap ada orang melakukan testimoni, selalu saja ada respon dari follower-nya. Dan ujung-ujungnya, terjadi transaksi. Kini, saya memiliki sekitar 50-an pelanggan tetap, yang hingga kini sudah melakukan pemesanan hingga ke-10. Meski 90 persennya dari Jakarta, tapi blontea sudah sampai Malang, Surabaya, Ambon, bahkan di Manchester, Amsterdam dan Taiwan.

Selain di jaringan Kopitiam Oey, blontea juga ada di Decanter Wine House Jakarta, dan sekarang sedang dalam proses penjajakan dengan sebuah jaringan coffee shop di Jakarta dan satu lagi di Solo. Beberapa orang sudah mengajukan penawaran menjadi reseller atau distributor di beberapa kota, seperti Jakarta, Pekanbaru dan Pontianak.

Asal tahu saja, penjualan blontea murni melalui jejaring sosial, terutama Twitter. Tak ada di toko, karena semua melalui sistem mention dan DM yang tak lain adalah direct selling. Saya pun bekerja sama dengan Tiki sebagai penyedia jasa delivery yang mengantarkan hingga ke pelanggan.

Hingga kini, saya sudah memiliki empat varian. Version 1.0 justru lahir belakangan setelah beberapa pelanggan merasa Ver. 2.0 dirasa terlalu berat. Lantas saya membuat Ver. 3.0 yang lebih strong dibanding keluaran pertama, hingga hadir Ver. 4.0 yang rasa sepatnya bisa disejajarkan dengan espresso pada kopi. Pasar Ver. 4.0 memang sempit, tapi sangat asyik. Soalnya, mereka adalah orang-orang dengan kategori tea addicted, penikmat teh sejati.

Saya menyebut demikian, karena mereka termasuk orang-orang yang ‘bermigrasi’ dari Ver. 2.0 yang sudah sepat, namun masih merasa kurang. Terhadap beberapa orang yang saya identifikasi sebagai penyuka teh saya coba tawari versi ‘espresso’. Dan ternyata benar dugaan saya, mereka meninggalkan versi awal dan selalu minta versi terakhir itu, padahal beberapa orang menyampaikan keluhannya kepada saya, bahwa dia ngelu atau ngantem alias kepala terasa berat setelah meminum ramuan versi 4.0.

Hingga kini, saya dan istri yang meracik. Saya mengurus pemasaran dan distribusi, sementara istri berkonsentrasi di pembukuan. Kontrol kualitas kami lakukan bersama, sebab kadang-kadang terdapat batang-batang teh yang berukuran besar dan harus kami buang, supaya tidak menambah bobot timbangan yang merugikan customers. Apalagi, para pembeli blontea termasuk kelompok premium, sehingga sangat sensitif terhadap kualitas barang.

***

Saya yakin, pasar teh oplosan atau teh racikan begini akan tumbuh menggembirakan. Terutama di Jakarta, saya yakin akan terus meluas, apalagi jika menyimak sejumlah testimoni di Twitter, yang berbuntut adanya pemesan baru. Satu hal yang saya kenalii, hampir tiga perempat pelanggan blontea merupakan orang-orang yang punya latar belakang kultur Solo, di mana sangat terbiasa dengan teh oplosan.

Kebanyakan dari mereka merasa menemukan sensasi baru, yang mengingatkan masa kecil atau masa mudanya di Solo, sehingga ketika berjuma dengan blontea lantas merasa seperti tamasya ke masa lalu. Satu hal yang pasti: sekali mencoba, biasanya langsung jatuh cinta.

Saya berharap, kelak kian banyak restoran atau hotel-hotel yang menyuguhkan teh racikan, yang berasal dari teh lokal, entah itu dari kawasan perkebunan teh di Puncak dan sekitarnya, seputaran Tegal dan Pekalongan, lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah, atau perkebunan-perkebunan teh lainnya di Nusantara. Apalagi, menurut sejarah, teh asal Indonesia cukup diminati pasar luar negeri.

Related

award
SPSAwArDS