World Sleep Day diperingati setiap 16 Maret. Namun, masih banyak orang yang tak sadar dampak positif dari tidur. Bukan hanya tidur, melainkan tidur yang benar dan sehat. Ada alasan mengapa manusia merasa sulit memperoleh tidur yang berkualitas.
Royal Philips merilis temuan dari survei global tahunannya yang berjudul “Better Sleep, Better Health. A Global Look at Why We’re Still Falling Short on Sleep.” Survei yang dilakukan di 13 negara ini mengamati apa yang membuat orang-orang tidak mendapatkan tidur yang berkualitas.
Diperkirakan lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia menderita sleep apnea, 80% di antaranya tetap tidak terdiagnosa, dan secara global 30% orang mengalami kesulitan untuk memulai tidur tanpa terjaga di malam hari. Tidur yang baik sangat penting bagi kesehatan, tetapi hanya sepertiga dari orang dengan gangguan tidur yang mencari bantuan tenaga kesehatan professional
Survei yang dilakukan secara online pada bulan Februari oleh lembaga riset Harris Poll atas nama Philips ini, mengulas kebiasaan tidur lebih dari 15.000 orang dewasa di 13 negara (Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Polandia, Prancis, India, China, Australia, Kolombia, Argentina, Meksiko, Brasil dan Jepang). Temuan ini melihat lebih dekat bagaimana tidur diprioritaskan, ditangani, dan dipandang oleh populasi di negara tersebut.
Temuan tersebut memperoleh fakta menarik berupa empat tipe manusia soal kualitas tidur:
- Masih belum memprioritaskan tidur:
Di 13 negara ini, mayoritas orang dewasa secara global (67%) menganggap bahwa tidur berdampak penting bagi keseluruhan kesehatan mereka. Namun, ketika mereka diminta untuk memasukkan kebiasaan tidur sehat sebagai bagian gaya hidup, ternyata hanya 29% yang merasa bersalah tidak menjaga kebiasaan tidur yang baik.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan keinginan mereka untuk berolahraga secara rutin 3-4 kali dalam seminggu yaitu 49% atau menjaga makan sehat sebanyak 42%.
- Menghadapi dampak dari tidur yang buruk:
Enam atau lebih dari 10 orang dewasa (61%) di dunia memiliki beberapa jenis masalah medis yang mempengaruhi tidur mereka. Sekitar seperempat orang dewasa melaporkan insomnia (26%) dan 1 dari 5 orang mendengkur (21%).
Rasa khawatir membuat lebih dari setengah orang dewasa di dunia terjaga di malam hari dalam tiga bulan terakhir (58%), diikuti oleh distraksi dari teknologi (26%). Setelah tidur malam yang tidak berkualitas, mereka merasa lelah (46%), murung/mudah marah (41%), tidak termotivasi (39%), dan mengalami kesulitan berkonsentrasi (39%).
- Mau berupaya
Secara global, tiga perempat orang dewasa (77%) mencoba memperbaiki tidur mereka dengan cara tertentu. Secara kolektif, banyak yang beralih dengan mendengarkan musik yang menenangkan (36%) atau mengatur jadwal untuk tidur/bangun mereka (32%).
Namun, metode berbeda digunakan di tiap-tiap negara. Salah satu metode utama yang digunakan orang dewasa India adalah meditasi (45%^). Sementara, salah satu metode teratas yang digunakan oleh orang dewasa Polandia dan Tiongkok adalah dengan meningkatkan kualitas udara mereka (33 % dan 31%).
- Millenials memiliki pandangan berbeda mengenai tidur:
Dari keseluruhan hasil survei global, muncul satu kelompok kecil yang terdiri dari orang dewasa berusia 18-24 tahun. Meskipun cenderung tidak memiliki jam tidur yang teratur dibandingkan generasi lainnya (38% vs 47% berusia 25+), kelompok ini secara rata-rata lebih banyak tidur setiap malam dibandingkan kelompok usia lainnya.
Usia 18-24 rata-rata tidur 7,2 jam, dibandingkan 6,9 jam pada kelompok usia 25 tahun ke atas. Orang dewasa berusia 18-24 tahun juga lebih mungkin untuk mencoba memperbaiki tidur mereka dibandingkan dengan kelompok usia 25+ (86% vs 75%).
“Tidur adalah landasan gaya hidup sehat. Seberapa baik dan berapa lama kita tidur setiap malam sebelumnya adalah variabel paling penting yang mempengaruhi perasaan kita pada hari berikutnya,” kata David White, Chief Medical Officer Philips Sleep & Respiratory Care.
Survei ini menunjukkan bahwa walaupun mengetahui bahwa tidur itu penting untuk kesehatan secara keseluruhan. Banyak orang masih belum memprioritaskannya ketimbang berolahraga atau mengkonsumsi makanan sehat.
“Semakin kita mengerti bagaimana dampak tidur pada segala hal yang kita lakukan, semakin baik kita menyesuaikan gaya hidup kita dan menemukan solusi yang membantu kita tidur dengan lebih baik,” sambung dia.
Untuk memperbaiki hasil klinis dalam terapi dan perawatan tidur, Philips membuka Sleep and Respiratory Education Center pertama di Asia Tenggara di kantor pusat regional Philips APAC Center, Singapura. Pusat pedidikan ini bertujuan melatih para tenaga kesehatan profesional di wilayah Asia Pasifik agar bisa mendiagnosis dan mengobati gangguan tidur dengan lebih baik.
Editor: Sigit Kurniawan