Munculnya layanan aplikasi digital di industri pariwisata ternyata cukup membuat gelisah para pemain konvensional. Pengusaha perhotelan masih merasa resah hingga kini terkait pengawasan pemerintah untuk aplikasi dan platform digital untuk pemesanan kamar hotel atau Online Travel Agencies (OTA).
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan aplikasi atau platform digital tersebut harus memiliki badan usaha tetap. Meskipun mereka berkontribusi terhadap peningkatan jumlah permintaan kamar hotel, menurut Maulana, dampak dari banyaknya aplikasi dan platform yang tidak berbadan hukum, tapi mempunyai basis pengguna di Indonesia menyebabkan hilangnya potensi penambahan pendapatan asli daerah (PAD) untuk kawasan pariwisata.
Maulana menilai kini banyak peraturan dan kebijakan yang berbenturan ketika dikaitkan ke pengaturan dan pengawasan aplikasi dan platform digital. “Sehingga menciptakan persaingan tidak sehat. Misalnya pengusaha akomodasi dibawah sepuluh kamar pada umumnya tidak mempekerjakan karyawan sesuai perundang-undangan,” ujarnya.
Selain itu, ada beberapa risiko karena mudahnya memesan kamar melalui daring sehingga aspek keamanan bisa dipertaruhkan dan menyebabkan kamar hotel rentan menjadi fasilitas kegiatan terlarang, seperti teroris atau bahkan prostitusi.
Pelaku industri perhotelan memang tengah gencar mengkritisi OTA lantaran banyak OTA asing melalaikan kewajiban membayar pajak luar negeri atau PPh Pasal 26.
Editor: Sigit Kurniawan