Kehadiran content creators termasuk para vlogger telah menjadi “papan reklame” baru bagi brand. Potensinya bahkan menembus layar YouTube mereka sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, video menjadi salah satu media yang paling banyak diakses pengguna internet. Infrastruktur teknologi yang bertumbuh, seperti jaringan telekomunikasi yang sudah masuk era 4G, ditambah semakin murahnya harga piranti mobile, membuat akses video bukan lagi barang mahal.
Laporan mengungkapkan, 78% dari netizen mengaku menonton video online setiap minggunya. Sementara, 55% menonton online setiap hari. Saat teks dan video berada di satu halaman yang sama, studi menemukan bahwa 60% pengunjung situs online akan menonton video sebelum membaca teks.
Sayangnya, penetrasi ekosistem digital di nusantara hanya terdistribusi secara baik di 10-15 kota. Hal itu menyebabkan brand (khususnya merek FMCG) sulit untuk menjangkau audiens yang lebih besar apabila hanya mengandalkan media video online.
“Memang, belanja iklan digital termasuk di dalamnya konten video berkembang dari tahun ke tahun, dari 2% menjadi 11%-12% selama lima tahun terakhir,” ujar Partha Kabi, Technical Advisor Maxus Indonesia kepada Marketeers.
Berbagai laporan menyebut bahwa tahun lalu pasar iklan digital Indonesia menyentuh Rp 13 triliun, dengan porsi media sosial Rp 8,5 triliun. Sedangkan di tingkat global, nilai iklan video online diperkirakan menyentuh Rp 478 triliun pada tahun 2019.
Partha menjelaskan, yang perlu diperhatikan brand ketika beriklan lewat video adalah mengetahui tujuan dari iklan tersebut. Pasalnya, konsumen dibombardir sekitar 4.000 iklan per harinya. Hal itu bisa membuat konsumen jenuh. “Karenanya, marketer dan advertiser mesti menyalurkan personalized content & experience kepada mereka. Salah satu lewat konten video,” tegasnya.
Ketika brand sudah memutuskan untuk membuat video, masalah belum berhenti sampai di situ. Sebab, menciptakan video yang berhasil ditonton oleh banyak orang bukan perihal mudah. Tak ada rumus yang pasti bagi brand untuk membuat video yang viral. Kadang, video yang dianggap biasa-biasa saja, namun hadir di momen yang tepat malah bisa berbuah viral.
Namun, setidaknya ada satu pakem khusus yang mesti dipahami. Business Development & COE Programme Singtel International Group Oliver Foo menerangkan bahwa saat ini semakin banyak pengguna internet mobile menggemari konten video berdurasi pendek.
“Kami menemukan adanya peralihan menonton video di mobile. Akan tetapi, kebanyakan video YouTube setelah lebih dari tiga menit, mereka akan berhenti menonton. Durasi tiga hingga lima menit, ideal untuk mengkonsumsi video di mobile. Anda bisa menontonnya sambil di bus, di perjalanan, mudah melakukannya,” kata Oliver.
Ketika membuat konten video tidaklah mudah, cara pintas adalah dengan “nebeng” di video-video yang dikreasikan oleh bintang YouTube atau para vlogger itu. Para self-made artist tersebut biasanya memiliki banyak pengikut yang loyal. Video mereka selalu ditunggu-tunggu layaknya fans yang menantikan episode demi episode serial televisi kesayangannya. Vloggers laksana “stasiun televisi” baru bagi banyak orang.
“Lewat kreasi vlogger, brand dapat menyasar kalangan yang sangat segmented sesuai dengan target audiens dari brand,” ujar Ardha Marlock, Account Manager PT Rumah Kreatif IVG, agensi blogger video yang didirikan oleh content creator Benazio Rizki Putra atau akrab dikenal dengan nama Bena Kribo.
Saat ini, IVG mengurusi sekitar 17 digital influencer di antaranya Devina Aureel, Vera Veranica, Marlo Ernesto, dan Ayasha Putri.
Dalam memilih vlogger, Ardha mengatakan bahwa selama ini memang masih banyak brand yang melihat dari jumlah followers di media sosial arus utama, seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube. Brand juga jarang melihat analitik dari vloggers, semasih vloggers tersebut popular.
Rata-rata brand memanfaatkan vlogger untuk mengiklankan produk baru demi mencetak awareness. Ada pula brand yang mamanfaatkannya untuk me-recall atau mengingatkan kembali tentang produk lama yang telah eksis.
“Cara vlogger bisa macam-macam. Vlogger menyesuaikan dengan tujuan dari iklan tersebut. Ada yang gayanya soft selling, adapula yang hard selling,” tutur Ardha.
Christian Indrawan, Digital Marketing Manager IVG menambahkan, brand yang bekerja sama dengan vlogger dapat memperoleh jangkauan audiens dengan cara organik, alias tanpa bantuan paid media seperti Google Ads, Facebook Ads, atau Youtube Ads. “Itulah mengapa placement lewat kanal vlogger, hasilnya riil,” ungkapnya.
(Baca Juga: Beauty Vlogger, Dari Youtuber Jadi Entrepreneur)
Sementara itu, Winston Muljadi, Co-Founder Iconreel.com amat menyanyangkan jika brand tidak memperhatikan analitik ketika memilih vlogger sebagai endorser. Padahal, keunggulan beriklan di dunia digital adalah kemampuannya mengukur efektivitas suatu promosi dengan lebih tepat sasaran.
Karenanya, Winston bersama co-founder lainnya Bradian Muliadi menciptakan platform Iconreel.com di bawah naungan PT Mumu Nusantara Agung. Iconreel adalah market place yang menghubungkan brand dengan Influencers untuk endorsement media sosial serta kolaborasi kreatif.
“Platform ini dibuat agar brand dapat mencari influencer marketing yang sesuai dengan kebutuhannya,” kata Winston lewat sambungan telepon.
Lewat servis yang diberikannya, Iconreel membantu brand untuk memberikan data real time terkait performa dari masing-masing platform media sosial yang digunakan influencer. Brand pun dapat melihat engagement mereka selama ini di media sosial.
“Ada banyak masalah yang muncul saat brand ingin melakukan aktivitas marketing bersama influencer, antara lain negosiasi yang ribet, mengukur efektivitas kampanye, serta cara pembayaran,” terang Bradian.
Sampai saat ini, Iconreel telah menjaring 12.000 influencer di Indonesia, yang mana brand mampu mencari kategori vlogger berdasarkan kriteria jenis kelamin, jumlah pengikut, media sosial yang digunakan, hingga interest dari vloggers itu (apakah wisata, tata rias, kuliner, dsb).
Menurut Winston, ketimbang brand membuat konten sendiri, keunggulan menggunakan influencer adalah mereka memiliki kontrol penuh terhadap konten. Vlogger sangat mengenal audiensnya, sehingga brand tak perlu repot untuk mengurusi proses kreatif dari pembuatan konten.
“Vlogger memiliki kekuatan untuk mengendalikan konten dan distribusinya. Mereka akan cari cara paling efektif untuk engage kepada followers mereka,” kata Winston lagi.
Tak ada Regulasi
Kendati demikian, tidak seperti beriklan di media konvensional, menggunakan jasa vlogger memang tak ada hitam di atas putih. Konten-konten vlogger yang dibayar untuk me-review atau mengiklankan sebuah produk sampai saat ini belum memiliki regulasi yang jelas.
Pasalnya, nasib naas pernah dirasakan merek biskuit Oreo yang menggunakan dua vloggers Inggris, Emma Blackery dan Luke Cutfoth. Advertising Standart Authority (ASA) menilai bahwa biskuit besutan Mondelez itu tidak transparan untuk menyebut konten yang dibuat dua vlogger itu memuat pesan merek.
Kejadian ini melahirkan seruan bagi merek apapun yang menggunakan jasa vlogger agar harus mencatumkan disclaimer yang menyatakan bahwa “video ini memuat konten iklan”.
Lantas, perlukah brand mencantumkan disclaimer seperti itu di Indonesia? “Itu kembali kepada deal antara vlogger dan brand. Saya rasa, masalah itu bisa dihindari apabila brand menemukan vlogger yang tepat. Sehingga, orang tidak melihatnya sebagai konten yang berbeda dari konten-konten yang pernah dibuat (vlogger) sebelumnya,” aku Winston.
Indra menambahkan, justru jika brand berhasil memperoleh vlogger yang tepat, durasi tak lagi menjadi soal. “Idealnya memang tiga sampai lima menit. Namun, vloggers punya penonton setia, sehingga (video) lebih dari lima menit masih tetap ditonton,” imbuh dia.
Sebenarnya banyak agenda yang bisa dilakukan brand dengan vlogger. Selain brand menggunakan kanal sang YouTube star untuk beriklan, cara lain yang bisa dilakukan brand adalah dengan mengundang vlogger sebagai bintang tamu di kanal media sosial milik brand.
Selain itu, brand bisa melakukan co-creation dengan vlogger untuk menciptakan produk edisi terbatas, atau mengajaknya ke aktivitas below the line sebagai spokesperson.
Editor: Sigit Kurniawan