Popularitas platform berbasis konten visual, seperti Instagram dan YouTube masih menjadi sorotan. Bahkan, banyak pihak mengatakan, konten visual seperti video bakal menjadi konten masa depan. Namun, bukan berarti fenomena itu menenggelamkan konten audio.
Hasil survei We are Social tahun ini menyebutkan, dari 150 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, 88% di antaranya merupakan pengguna YouTube, dan 80% lain menggunakan Instagram. Memang, konten visual atau pun audio-visual yang ditawarkan kedua platform itu begitu memikat lantaran mampu menyentuh banyak indra.
Namun, di antara perkembangan konten-konten (audio)visual itu, podcast dengan karakteristik audio justru mulai dicari audiens. Hasil survei DailySocial bersama JakPat bertajuk Podcast User Research in Indonesia 2018 menunjukkan, 68% responden Indonesia mengaku familiar dengan podcast, dan 81% di antaranya mendengarkan podcast dalam enam bulan terakhir.
Kebangkitan konten berbasis audio di era digital itu tak lepas dari perubahan gaya hidup audiens yang kian dinamis dan menuntut fleksibilitas. Hampir 63% audiens menilai, podcast mampu mengakomodasi kebutuhan ini.
Podcast User Research in Indonesia 2018
Reason to Listen
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 (DailySocial id dan JAKPAT)
Ya, berbeda dengan YouTube atau pun platform berbasis konten (audio) visual lain, platform penyedia podcast memungkinkan para pendengar menyimak konten tanpa menghambat aktivitas mereka. Konten audio tidak menuntut pendengar untuk menaruh konsentrasi pada gambar visual. Justru, memungkinkan pendengar melakukan aktivitas secara multitasking.
Lebih dari itu, kekuatan audio yang dibawa podcast –sama halnya dengan radio- mampu menciptakan theatre of mind bagi para audiens. “Suara memiliki kekuatan yang membuat audiens mengimajinasikan apa yang mereka dengar,” jelas Dinda Yudhia Daud, Vice President Mahaka Radio Integra kepada Marketeers.
Meski belum sepopuler subsegmen media lain, geliat pertumbuhan podcast yang terlihat menjanjikan mulai disadari sejumlah pemain audio-streaming platform, seperti Spotify. Melansir Industry Leaders, jam konsumsi podcast melalui Spotify tumbuh 250% pada 2018 dengan mayoritas pendengar merupakan milenial (49%). Tentu, hal ini menjadi sasaran empuk bagi Spotify untuk menjual ruang bagi merek guna memasarkan produk mereka.
Spotify kemudian merilis fitur baru yang memungkinkan merek menargetkan audiens berdasarkan jenis podcast yang mereka dengarkan. Sayangnya, Spotify belum mau banyak bicara mengenai hal ini. Pasalnya, Spotify mengakui jumlah podcast creator di platform mereka masih terbilang minim.
Padahal, jika dilihat dari survei yang sama, Spotify masih menjadi platform terfavorit audiens untuk mendengarkan podcast (52%). Diikuti dengan Soundcloud (46,25%) dan Google Podcast (41,25%).
Podcast User Research in Indonesia 2018
Platform Preference
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 (DailySocial id dan JAKPAT)
“Melihat tren podcast di dunia, tak heran jika podcast dengan cepat bertumbuh. Siapa pun dapat dengan mudah membuat konten mereka karena barrier entry untuk membuat podcast terbilang lebih rendah dibandingkan dengan program berkonten audio-visual,” terang Peter May, Head of Tencent Indonesia (JOOX Indonesia).
Sejalan dengan Spotify, JOOX pun menjajal pasar podcast Indonesia. Mengambil momentum Ramadan beberapa bulan lalu, JOOX melakukan market test dengan meluncurkan serial podcast dalam tiga genre berbeda (horror, komedi, dan kisah cinta) secara gratis bagi pendengar mereka. Selain untuk meningkatkan loyalitas pengguna, cara ini dikatakan Peter sekaligus untuk melihat respons pasar Indonesia terhadap podcast.
Mencoba meluncurkan inovasi yang out of the box, JOOX tidak sekadar meluncurkan konten audio dalam podcast mereka. Pada podcast berjudul Bridezilla misalnya, JOOX menggandeng Sutradara Angga Dwimas Sasongko dan Anggia Kharisma merilis podcast sebagai bridging film Bridezilla.
Para audiens podcast Bridezilla disuguhkan oleh serial singkat yang juga dibawakan oleh para pemain film Bridezilla, seperti Jessica Mila, Rio Dewanto, Rafael Tan, dan Sheila Dara. Melalui cerita podcast ini, diharapkan theater of mind yang terbangun di antara audiens dapat menggugah rasa penasaran mereka untuk menonton film tersebut di bioskop.
Dari market test yang dilakukan JOOX, ada beberapa space yang sebenarnya bisa diambil merek untuk memasarkan produk mereka. Misalnya, mengintegrasikan podcast dengan mini series yang belakangan banyak diproduksi merek untuk memasarkan produk mereka. Ataupun, menggambarkan suatu produk tertentu dari suatu merek, baik secara langsung maupun tidak.
“Saat ini, orang tidak menyukai hard selling dan podcast menjadi salah satu cara untuk mempengaruhi orang agar aware terhadap merek yang beriklan. Theatre of mind membuat audiens mengimajinasikan apa yang disampaikan podcast mengenai produk tersebut. Tidak sebatas brand awareness yang bisa diperoleh, melainkan pada penjualan,” terang Dinda.
Editor: Sigit Kurniawan