The Rising of Food Delivery: When Obesity is Just A click Away

marketeers article

Does online food delivery service cause obesity? The simple answer is no, but the explanation of how online food ordering and obesity are interrelated may surprise you.

Sungguh menakjubkan bahwa kehadiran ojek online di Indonesia telah banyak mengubah perilaku masyarakat dalam berkendara. Armada ojek yang dapat dipesan melalui aplikasi di smartphone ini dinilai membantu banyak orang, khususnya mereka yang memiliki kesibukan dan mobilitas tinggi. Tak hanya jarak jauh, kita bahkan kerap memesannya untuk jarak yang relatif dekat, yang sebetulnya bisa kita lakukan dengan berjalan kaki.

Persaingan yang ketat di bisnis ojek online, membuat perusahaan yang bergerak di bidang tersebut buru-buru melakukan diversifikasi layanan dengan menawarkan fasilitas delivery online atau kurir makanan. Ini mesti dilakukan demi mensiasati defisit anggaran yang terjadi akibat subsidi harga yang terus-menerus dilakukan oleh para perusahaan ojek online guna mempertahankan sekaligus meningkatkan jumlah penggunanya.

Go-Jek adalah pihak pertama yang melihat peluang itu lewat peluncuran Go-Food pada April 2015 lalu. Sampai saat ini, Go-Food telah mengantongi sekitar 125.000 tenan restoran dan rumah makan.

Lokasi layanan tidak dibatasi alias pengguna dapat merasakan manfaat layanan tersebut di mana Go-Jek beroperasi. Limit pemesanan pun cukup tinggi. Pengguna Go-Food bisa memesan makanan hingga seharga Rp 1 juta dengan biaya seluruh pesanan akan ditalangi oleh pihak Go-Jek.

Go-Food tidaklah bermain seorang diri di bisnis ini. Sebelumnya, terdapat FoodPanda yang hadir pada tahun 2012, namun mesti ‘gulung tikar’ pada tahun 2016 akibat kalah bersaing. Kini, Go-Food mendapat pesaing baru yang berasal dari kompetitor terdekatnya, yaitu Grab dengan Grab-Food serta Uber lewat Uber-Eats. Grab-Food telah hadir dan baru beroperasi di sekitar kawasan SCBD jakarta. Sedangkan UberEats kabarnya akan memulai layanannya pada tahun ini.

Tentu, layanan kurir makanan dapat menghemat waktu dan juga tenaga para penggunanya. Tak usah repot berjibaku di jalanan demi menerobos kemacetan hanya untuk menikmati makanan di restoran favorit. Tinggal klik, semua bisa hadir di hadapan kita!

Jauh sebelum kehadiran Go-Jek, Grab, dan Uber, masyarakat urban sebenarnya sudah familier dengan layanan delivery yang digagas oleh restoran cepat saji, seperti McD, KFC, Hokben, dan PHD.

Tak hanya menambah nilai lebih di mata pelanggan, delivery service ternyata memberikan kontirbusi keuntungan bisnis bagi perusahaan. Morgan Stanley pernah mencatat bahwa tiga restoran pizza terbesar di Amerika Serikat, yaitu Pizza Hut, Domino’s, dan Papa John’s mengantongi pendapatan hingga 50% dari layanan pesan antar.

Jika prospek bisnis kurir makanan betul-betul cerah, bukan hal yang mustahil apabila layanan sejenis akan banyak bermunculan membanjiri pasar. Konsekuensinya, kondisi itu menciptakan kebutuhan baru di masyarakat, dan menjadikan kebutuhan baru tersebut sebagai sesuatu yang sewajarnya terjadi. Ibu-ibu modern mungkin merasa tak perlu lagi ke pasar untuk membeli sayur.

Lantas, apa bahaya laten dari layanan ‘just one click away’ ini? Disadari atau tidak, jika manusia begitu bergantung pada layanan tersebut, maka kita akan menambah predikat sebagai generasi mager alias malas bergerak. Alih-alih kita menghemat waktu dan tenaga, kita justru mengurangi langkah kita bergerak sehari-hari.

Kalau sudah mager, efek selanjutnya akan mengganggu kesehatan. Memang, sampai saat ini belum ditemukan studi yang memperlihatkan hubungan langsung antara pengguna kurir makanan dengan tingkat kesehatannya.

Akan tetapi, fakta mengatakan bahwa masalah kegemukan atau obesitas salah satunya disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik. Mager membuat lemak di dalam tubuh terus menumpuk sehingga meningkatkan berat badan.

Eits, ini bukan berarti mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus relatif terhindar dari bahaya mager lho! Sebab, sebuah studi yang dilakukan University of Cambridge selama 12 tahun dan melibatkan lebih dari 300.000 orang menemukan bahwa kebiasaan tidak aktif bergerak malah dua kali lebih mematikan ketimbang obesitas. Ini bahkan dapat mengancam orang dengan berat badan normal yang malas bergerak.

Peneliti dari universitas tersebut mengatakan sekitar 676.000 kematian setiap tahunnya disebabkan perilaku pasif atau kemalasan beraktivitas. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 337.000 orang yang meninggal karena masalah berat badan.

Kasus berat badan di Indonesia pun tergolong tinggi. Data Kementerian Kesehatan tahun 2013 menenjukkan bahwa lebih dari 40 juta orang Indonesia mengalami kegemukan atau obesitas. Dalam Riset Institut Pengukuran dan Evaluasi Kesehatan Amerika Serikat yang dimuat di jurnal The Lancet tahun 2014, tertulis bahwa Indonesia masuk sepuluh besar negara dengan orang gemuk terbanyak.

Padahal, risiko obesitas tidak hanya mempengaruhi kesehatan pribadi individu, melainkan juga mempengaruhi produktivitas suatu populasi. Jangan sampai orang dengan obesitas merasa memiliki berat tubuh normal, hanya karena mereka melihat terlalu banyak orang dengan kelebihan berat badan di sekitar mereka.

Pada akhirnya, negara akan menanggung beban biaya berobat para obesitas. Mengingat, Indonesia adalah negara yang memberikan subsidi kesehatan pada seluruh warganya. Jangan sampai, subsidi tersebut terbuang percuma hanya untuk mengobati dampak dari aktivitas yang seharusnya bisa dihindari.

Kembali ke kasus layanan kurir makanan online di atas, apakah Anda mau menanamkan kebiasaan kepada anak dan cucu Anda bahwa cara terbaik menikmati makanan adalah dengan mencari makanan itu secara online dan mengkliknya di layar smartphone? Ingat, teknologi memang membantu memperingan tugas manusia, namun jangan sampai malah memperberat bobot si manusia itu.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related