Millennials atau mereka yang lahir pada periode tahun 1981-2000 merupakan segmen konsumen yang sangat potensial. Perilakunya yang cenderung mengonsumsi barang dan jasa secara massif (baca: boros) membuat millennials disukai banyak merek. Sayangnya, ada satu hal yag luput dari perhatian millennials, yaitu investasi.
Sebenarnya, pengetahuan investasi masyarakat Indonesia secara umum masih begitu kecil jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat atau Singapura sekalipun. Hal ini dapat dilihat dari besarnya dana masyarakat yang ditaruh di tabungan dan deposito yang presentasenya kurang-lebih mencapai 80%.
Martha Christina, Head of Education Philip Securities mengatakan, investasi adalah menyisihkan sebagian penghasilan seseorang untuk menghasilkan pendapatan di masa depan. “Investasi itu menyisihkan sesuatu atau menunda konsumsi saat ini untuk kita investasikan di aset-aset yang nantinya diharapkan meningkatkan nilai uang itu sendiri,” paparnya.
Ada beberapa alasan millennials tidak akrab dengan instrumen investasi. Marketeers merangkum tiga alasan utama yang didapat dari diskusi bertema “Investment Behavior for Millennials” yang didadakan oleh Phillip Securities Indonesia dan Manulife Asset Management Indonesia, bekerja sama dengan Komunitas Student Job Indonesia. Berikut petikannya.
Pertama, No Money
Alasan utama seorang milenial enggan berinvestasi adalah merasa ia tidak memiliki uang. Padahal, anggapan itu sama sekali tidak benar.
Menurut Martha, salah satu instrumen investasi saat ini, yaitu reksadana, bisa dimulai oleh investor dengan hanya menyetor uang sebesar Rp 100.000. Millennials pun direkomendasikan untuk melakukan investasi secara berkala dari uang saku atau gaji yang mereka dapat setiap bulan.
Beberapa perencana keuangan merekomendasikan bahwa 20% dari penghasilan bulanan yang didapat, harus dialokasikan untuk kebutuhan investasi.
“Dengan investasi secara berkala, kita bisa sambil belajar menganalisa market. Kapan saham naik, kapan saham turun. Hal tersebut melatih millennials untuk paham investasi,” terang Martha.
Kedua, No Money Smarts
Millennials pada dasarnya tidak mengerti tahapan sederhana dalam bernvestasi, sehingga mereka bingung kemana seharusnya ia harus berinvestasi.
Pendidikan kita memang alpa dalam mempersiapkan generasi millenialls agar melek finansial. Pengetahuan investasi baru ada ketika seseorang berada di jenjang pendidikan tinggi. Itupun untuk mereka yang studi ekonomi. Kendati demikian, orang tua punya peran penting dalam mengajarkan mengenai keuangan kepada anak-anaknya sedini mungkin.
Seiring dunia keuangan Indonesia yang bergerak dinamis, investasi pun telah menjadi kebutuhan bagi setiap warga, termasuk generasi muda millennials. Telah banyak perusahaan manajer investasi dan sekuritas yang melakukan edukasi market ke generasi muda mengenai pentingnya investasi.
Presiden Direktur Manulife Asset Management Indonesia Legowo Kusumonegoro mengatakan, dari sekian banyak instrumen investasi, seperti obligasi dan saham, reksadana adalah yang paling baik diikuti oleh millennials, khususnya mereka yang baru mengenal investasi.
Pada dasarnya, reksadana adalah kumpulan instrumen investasi pasar modal (seperti obligasi dan saham), yang di-bundling dalam satu paket. Reksadana sendiri ada di pasar investasi Tanah Air sejak tahun 1996. Saat ini, total investornya baru 400.000 jiwa dengan dana kelolaan sebesar Rp 400 triliun.
“Investasi di saham dan obligasi membutuhkan uang yang besar. Selain itu, pengetahuan untuk mengambil keputusan investasi itu rumit. Reksadana, tak perlu uang besar, dan pengelolaannya dibantu oleh manajer investasi,” terang Legowo.
Dari ratusan jenis reksadana yang ditawarkan puluhan manajer investasi di Indonesia, Legowo merekomendasikan reksadana pasar uang yang cocok bagi kalangan millennials, yang baru pertama kali berinvestasi.
Salah satu keuntungan reksadana pasar uang adalah ia dapat dicairkan dengan cepat layaknya tabungan atau deposito. Selain itu, imbal hasil-nya (bunga) melebihi inflasi.
“Bedanya, reksadana bukanlah objek pajak. Jadi uang Anda tidak dikenakan pajak. Sedangkan, deposito, meskipun bunganya katakanlah 6%-7%, tapi ada biaya bank dan dipotong pajak,” ucap Legowo.
Dia melanjutkan, “Jika bunga deposito lebih rendah daripada inflasi, maka dalam jangka panjang, aset Anda menjadi kurang berharga karena terkikis inflasi. Di sinilah mengapa deposito bukan investasi, melainkan tabungan.”
Ketiga, No Goals
Tak semua millennials tahu mereka akan menjadi apa di masa depan. Kalaupun mereka tahu, kadang mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka persiapkan kelak.
Salah satu hal yang luput dari perhatian millennials adalah kebutuhan hidup setelah pensiun. Ini patut dimaklumi mengingat, masa pensiun terjadi dalam waktu yang lama, sehingga bukan kebutuhan yang mendesak.
Semua orang akan mengalami masa tua di mana orang itu tidak akan bisa lagi bekerja secara aktif. Tentunya, kondisi itu memerlukan uang agar masa pensiun berjalan lebih baik.
“Padahal, jika seorang millennials berinvestasi Rp 100.000 setiap tahun sampai tahun 2050, dengan asumsi bunga sebesar 10%, maka uang yang dihasilkan melebihi uang yang hanaya ditaruh di bawah bantal selama 30 tahun,” terang Martha
Ia menuturkan, semakin seseorang menunda investasi, semakin sedikt uang yang didapat. “Sebab, investasi menganut prinsip compound of interest (bungan ber bunga). Semakin awal Anda berinvesi, nilainya akan semakin besar,” tutur Martha di hadapan para millennials.
Editor: Sigit Kurniawan