Orang bilang properti adalah bisnis yang selalu menguntungkan. Kendati demikian, volatilitas bisnis properti sangat tergantung pada situasi politik. Bukan hanya saat pemilu, tetapi juga berbagai aturan yang dibuat pemerintah. Indonesia setidaknya telah merasakan ketiga fase properti sebagai berikut:
Best of the best (2010-2013)
Jika dihitung mundur sepuluh tahun ke belakang, masa paling berkah dari bisnis properti terjadi pada tahun 2010 hingga 2013. Pada periode tersebut, permintaan bisnis batu bara dan barang komoditas lainnya tengah meninggi. Sehingga, orang “berduit” banyak menginvestasikan uangnya di sektor tersebut. Properti di berbagai daerah, khususnya di daerah yang dekat dengan lumbung pertambangan juga ikut terdongkrak.
Dari sisi makro ekonomi, pada masa ini, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) juga baik. Bahkan pada tahun 2011, PDB berada di level tertinggi yaitu dengan pertumbuhan sebesar 6,7%. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cukup menguat.
Rupiah sempat berada di level terrendah sekitar Rp 9.000 per dollar AS pada tahun 2009. Bandingkan dengan harga saat ini yang menembus Rp 13.600 per dollar AS. Kondisi itu juga dilengkapi dengan indeks kepercayaan konsumen yang berada di titik teratas pada tahun 2012.
Ishak Chandra, CEO Strategic Development and Services Sinarmas Land mengungkapkan, pada tahun 2010-2013, indeks harga properti juga mengalami peningkatan yang signifikan. Ia bilang, pada tahun 2010, harga properti di BSD Rp 4 juta per m2. Kini harga terrendahnya bisa Rp 20 juta per m2.
“Indeks harga properti sebenarnya tidak pernah turun. Hanya saja, pertumbuhannya bisa turun. Pada tahun 2010-2013, pertumbuhan harga menukik tajam,” kata dia.
Wrong Move (2012-Q2 2015)
Habis manis, rasa sepah pun datang. Begitulah kondisi bisnis properti pada tahun 2012 hingga kuartal kedua 2015. Periode itu disebut Ishak Chandra sebagai wrong move atau “pergerakan yang salah”.
Mengapa demikian? Tahun 2012 merupakan tahun politik di mana dua kubu calon gubernur tengah bersaing memperebutkan simpatik masyarakat di DKI 1. Kondisi yang seolah membuat Indonesia terpecah itu tentu saja berdampak pada pasar properti Jabodetabek.
“Setiap ada tahun politik atau pemilu, harga properti terkoreksi 20%-30%. Itu selalu terjadi selama Indonesia melakukan pemilu,” kata Ishak.
Paska pemilu DKI yang membuat investor melakukan aksi wait & see, kondisi berlanjut dengan dikeluarkannya berbagai aturan yang menurut Ishak justru memperparah ruang gerak bisnis properti. Pada tahun 2015, Bank Indonesia menelurkan atuan rasio loan to value (LTV) untuk kredit properti, serta rasio financing to value (FTV) untuk pembiayaan properti.
Pada aturan pertama, bank hanya boleh memberikan kredit kepada debitur untuk menyicil properti maksimal sebesar 70% dari harga rumah pertama, 60% untuk rumah kedua, dan 50% untuk rumah ketiga. Artinya, nasabah mesti menyiapkan uang muka masing-masing sebesar 30%, 40% dan 50%. Aturan ini dinilai pemain properti menyulitkan nasabah untuk membeli hunian mereka.
Faktanya, kata Ishak, PDB Indonesia turun hingga sempat menyentuh level terrendah. Begitupun dengan nilai tukar yang bahkan melambung hingga Rp 14.000 per dollar AS.
“Dari sisi indeks harga properti, terlihat pertumbuhannya lebih landai setelah aturan itu berjalan. Harga properti memang masih naik saat itu, walau tidak setajam yang terjadi pada tahun 2012-2013. Ini juga lebih ditopang oleh indeks keyakinan konsumen yang positif,” jelas Ishak.
New Hope (2016-now)
Meski masih volatile, bisnis properti masih dianggap memberikan cuan. Momentum pertumbuhan kembali merekah setelah pasar tiarap beberapa saat. Indikatornya, pertumbuhan PDB yang meningkat, di mana pada tahun 2018 ditargetkan mencapai 5,2%.
Berbagai sumber menyebut Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan juga dunia. The Economist menyebut pada tahun 2050, Indonesia bakal berada di urutan ke-delapan ekonomi dunia.
Predikatnya sebagai populasi dengan kelas menengah terbesar ketiga di dunia ini, memberikan proyeksi bahwa rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia hingga tahun 2020 berada di kisaran 5,8%. Masih dalam sumber yang sama, Indonesia juga menjadi destinasi utama investor. Berada diurutan ketiga setelah China dan India.
Semua kondisi tersebut memberikan keyakinan konsumen untuk menjadikan pasar properti bergairah kembali. “Apalagi, pemerintah sudah sadar akan kebijakan yang boten-boten yang mereka buat, dan membuat penyempurnaan aturan yang lebih pro-bisnis,” terang Ishak lagi.
Tahun 2018, apa yang akan terjadi di sektor properti?
Editor: Saviq Bachdar