Tiga Strategi PGE Kejar Kapasitas Produksi Panas Bumi 7 GW pada 2033

marketeers article
Ilustrasi proyek panas bumi. (Dok. PGE)

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) menargetkan bisa memproduksi listrik dari tenaga panas bumi nasional sebesar 7 gigawatt (GW) pada tahun 2033. Perseroan memiliki tiga strategi untuk mencapai target tersebut mulai dari pengembangan infrastruktur dan teknologi, serta skema pembiayaan.

Julfi Hadi, Direktur Utama PGE menjelaskan untuk mengejar target yang hanya tersisa waktu dalam enam hingga delapan tahun ini perlu adanya paradigma baru yang menekankan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan untuk mempercepat pengembangan panas bumi sebagai tulang punggung transisi energi nasional. Paradigma baru dalam pengembangan energi panas bumi dibutuhkan untuk membuat investasi di sektor energi terbarukan ini lebih menarik dengan tingkat tarif yang ada.

BACA JUGA: Wujudkan Transisi Energi, PGE Kolaborasi dengan Elnusa, PGAS dan PertaMC

“Kita memerlukan terobosan untuk bisa menurunkan biaya pengembangan panas bumi dan mengubah paradigma melalui model bisnis yang baru,” kata Julfi melalui keterangan resmi, Selasa (10/9/2024).

Perubahan paradigma dalam pengembangan energi panas bumi menjadi penting, karena dengan tarif listrik panas bumi saat ini, perlu ada pendekatan yang lebih optimal untuk meningkatkan profitabilitas pengembang (independent power producers/IPP). Paradigma baru yang ditawarkan PGE mengedepankan tiga strategi utama untuk mencapainya.

BACA JUGA: Percepat Pengembangan Panas Bumi, PGEO Gandeng PLN IP

Pertama, strategi pembaruan model bisnis melalui pengembangan bertahap di wilayah kerja panas bumi untuk meningkatkan peluang keberhasilan dan optimalisasi biaya, mengingat pengembangan langsung dalam skala besar biasanya sering menimbulkan pembengkakan biaya.

Kedua, strategi menurunkan biaya ongkos pengembangan per unit (US$ per megawatt/MW) melalui penggunaan teknologi baru dan menaikkan volume operasi melalui kolaborasi antar-pengembang panas bumi untuk membangun pasar dan konsolidasi permintaan.

Ketiga, strategi diversifikasi melalui pengembangan bisnis terkait dan manufaktur lokal. Pengembang panas bumi perlu ekspansi bisnis non-kelistrikan (off-grid) seperti hidrogen hijau dan amonia hijau dan mempromosikan pengembangan teknologi dan manufaktur lokal untuk komponen utama pembangkit listrik panas bumi di dalam negeri.

Selain itu, penting untuk mempertimbangkan insentif lainnya seperti akses ke pinjaman lunak (concessional loan) dan penjualan kredit karbon internasional. Hal ini juga memerlukan dukungan pemerintah untuk memberikan insentif tambahan, terutama dukungan untuk peningkatan kandungan lokal dan infrastruktur.

Pengembang panas bumi, terang Julfi Hadi, perlu meninggalkan paradigma dan model bisnis lama yang masih memakai pendekatan business as usual dan membatasi kolaborasi yang menyebabkan tingkat pengembalian (internal rate of return) marginal.

“Kita perlu berkembang dan berkolaborasi bersama untuk menjadikan panas bumi bisa memainkan peran penting dalam transisi energi nasional,” kata dia.

Dengan sumber daya yang dimiliki, PGE optimistis dapat menjadi motor penggerak dan pemimpin percepatan pengembangan panas bumi nasional. Perseroan saat ini mengelola 15 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang 672 MW yang akan dinaikkan menjadi 1 GW dalam dua sampai tiga tahun ke depan, dengan total potensi cadangan panas bumi sebesar 3 GW yang siap dikembangkan dari 10 WKP yang dikelola sendiri.

Julfi menegaskan PGE sudah walking the talk dalam mewujudkan paradigma baru. Dia mengeklaim sudah banyak hal yang dilakukan perseroan seperti berkolaborasi dalam eksplorasi sumber daya, mendorong pengembangan teknologi baru di Indonesia, dan mengembangkan manufaktur lokal.

“Kami juga menginisiasi proyek percontohan hidrogen hijau di Ulubelu,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS