McKinsey menemukan enam faktor yang menyebabkan pelannya penerapan Industri 4.0 pada perusahaan-perusahaan yang sedang dalam tahap implementasi. Padahal Berdasarkan survei McKinsey & Company, 79% pemimpin bisnis di negara-negara berbasis manufaktur seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam pada umumnya bersifat optimistis terhadap prospek Industri 4.0.
Enam faktor pelannya penerapan Industri 4.0 tersebut, antara lain kesulitan dalam merancang dengan jelas peta jalan untuk bertumbuh pada skala besar, data-data yang tersimpan secara terpisah dan tiadanya satu platform yang sesuai untuk melakukan integrasi, kekurangan orang-orang dengan kemampuan digital untuk menjalankan peta jalan yang telah dirancang, tantangan-tantangan dalam menemukan dan memprioritaskan proyek percontohan dengan nilai bisnis yang jelas, kekurangan pengetahuan dan sumber daya untuk mengembangkan proyek dan infrastruktur, dan kekhawatiran terhadap risiko keamanan siber.
“Alasan terjebaknya perusahaan di tahap percontohan sama dengan alasan-alasan yang digunakan perusahaan yang menghindari implementasi Industri 4.0. Alasan-alasan utamanya adalah perusahaan tersebut melihat bahwa keuntungan jangka pendek tidak sepadan dengan usaha yang harus dikeluarkan sebuah bisnis untuk melakukan transformasi digital atau kesulitan dalam menggabungkan sistem teknologi informasi (TI), dan kurangnya koordinasi antara unit-unit bisnis seperti TI, pemasaran, dan penjualan,” kata Vishal Agarwal, McKinsey & Company Partner and Leader, Southeast Asia, Operations Practice.
Untuk mencapai seluruh potensi Industri 4.0 di sektor manufaktur, perusahaan-perusahaan perlu melewati tahap percontohan dengan menjalani triple transformation yang meliputi proses bisnis. Perusahaan bisa mengembangkan visi bisnis yang jelas dari awal dan menerapkan peta jalan secara bertahap. Kemudian melakukan digitalisasi proses bisnis untuk meningkatkan nilai, menciptakan kemudahan dan efisiensi, serta fokus pada proyek percontohan.
Kedua, melalui adopsi teknologi. Hal ini dapat membentuk kelengkapan sistem teknologi yang bisa dikembangkan, mengadopsi arsitektur TI ‘two speed’ untuk penerapan cepat solusi digital terbaru dengan “middleware” yang menghubungkan dengan sistem TI yang sudah ada. Kemudian membangun ekosistem yang fokus bersama mitra yang tergabung dalam sebuah ekosistem pada perusahaan tersebut.
Terakhir, melalui struktur organisasi dengan mendorong transformasi dari atas dan mengomunikasikan keberhasilan. Menarik bakat-bakat dan keterampilan baru sambil meningkatkan kemampuan pekerja yang sudah ada. Membangun budaya yang menyokong transformasi dan mengadopsi cara dan pola pikir baru untuk bekerja.
Riset McKinsey menunjukkan bahwa Industri 4.0 akan berdampak signifikan pada berbagai industri di Indonesia, sebuah fakta yang tidak bisa diabaikan. Digitalisasi bisa mendorong pertambahan sebanyak US$ 120 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Sekitar seperempat dari angka ini, atau senilai US$ 34 miliar, akan dihasilkan oleh sektor manufaktur, menempatkan sektor ini di posisi terdepan. Mengingat bahwa manufaktur menyumbang 18% ke PDB, sangatlah penting untuk mempercepat penerapan teknologi digital terbaru pada sektor ini.
Editor: Sigit Kurniawan