Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyiapkan insentif impor bahan baku industri yang berasal dari Timur Tengah. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya gangguan rantai pasok akibat serangan Iran ke Israel dan sebaliknya.
Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian menjelaskan konflik yang terjadi diperkirakan berdampak pada setidaknya tiga hal, yaitu peningkatan harga energi, peningkatan biaya logistik, dan penguatan nilai tukar rupiah. Ini merupakan konsekuensi menjadi bagian dari perekonomian dan supply chain global.
BACA JUGA: Timur Tengah Memanas, Pertamina Jamin Stok BBM Aman
Dia bilang ada kemungkinan terganggunya suplai bahan baku bagi industri dalam negeri, terutama pada industri produsen kimia hulu yang mengimpor sebagian besar naphtha dan bahan baku kimia lainnya dari kawasan tersebut. Relaksasi impor bahan baku tertentu juga dibutuhkan untuk kemudahan memperoleh bahan baku, mengingat negara-negara lain juga berlomba mendapatkan supplier alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya.
“Saat ini, Kemenperin berupaya memetakan solusi-solusi untuk mengamankan sektor industri dari dampak konflik yang tengah terjadi,” kata Agus melalui keterangannya, Kamis (18/4/2024).
BACA JUGA: Tahun 2024, Industri Manufaktur Ditargetkan Tumbuh 5,80%
Selanjutnya, mempercepat langkah-langkah pendalaman, penguatan, maupun penyebaran struktur industri, yang bertujuan untuk segera meningkatkan program substitusi impor. Hal ini perlu didukung dengan memperketat ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengantisipasi excess trade diversion dari negara lain ke Indonesia.
Artinya, kementerian atau lembaga harus lebih disiplin dalam pengadaan belanja barang dan jasa dengan menggunakan produk dalam negeri. Agus menyebut saat ini juga merupakan momen yang tepat bagi sektor industri untuk mendapatkan kepastian keberlanjutan implementasi kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Adanya risiko peningkatan harga energi dapat berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan daya saing subsektor industri. Karenanya, kebijakan HGBT sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing produksi.
Kemudian, mengusulkan peningkatan penggunaan mata uang lokal (Local Currency Transaction) untuk transaksi bilateral yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia dan negara mitra. Dengan kata lain, nasabah Indonesia dan nasabah mitra dapat membayar atau menerima pembayaran dalam mata uang lokal tanpa melalui mata uang USD.
“Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap hard currencies, terutama USD, mengingat skala ekonomi dan volume perdagangan antar negara Asia terus meningkat, juga untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Editor: Ranto Rajagukguk