Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal menyederhanakan proses perizinan kontrak hulu minyak dan gas bumi (migas). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan produksi migas nasional yang hingga sekarang masih terus mengalami defisit.
Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM menuturkan saat ini lifting migas terus mengalami penurunan. Dia bilang 30 tahun lalu, lifting migas dapat mencapai 1,6 juta barel per hari dengan konsumsi tidak lebih dari 600.000-700.000 barel per hari.
BACA JUGA: Manfaatkan AI, PHR Tekan Laju Penurunan Produksi Migas 6%
Namun saat ini, lifting menurun, hanya tersisa 600.000 barel per hari, dengan konsumsi 1 juta barel per hari. Kondisi ini, ujar Bahlil, membuat pemerintah dan para pemangku kepentingan harus mengambil tanggung jawab.
Pemerintah mengambil jalan untuk menyederhanakan perizinan dengan fleksibilitas dan penyederhanaan kontrak hulu migas. Perubahan dari gross split menjadi cost recovery dan penyesuaian komponen tambahan bagi hasil gross split menjadi hanya lima komponen.
BACA JUGA: Pertamina Berhasil Tingkatkan Produksi Migas Blok Rokan dan Mahakam
“Maka kemudian kami ramping menjadi lima item, untuk diberikan keleluasaan bagi kontraktor untuk memilih jalur mana, agar kemudian bisa kita mengoptimalkan dan percepatan terhadap proses lifting. Itu dari sisi lifting,” kata Bahlil melalui keterangan resmi, Jumat (11/10/2024).
Terkait dengan pengurangan impor Bahan Bakar Minyak (BBM), kata Bahlil, saat ini mandatori biodiesel B35 dan kajian B40 sudah hampir selesai. Berdasarkan hasil kajian yang tengah dilakukan, dapat dilanjutkan untuk menjadi B50.
Hal ini untuk mengurangi impor dan mendorong penggunaan energi hijau. Ini juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan demikian, terjadi peralihan dari fosil, batu bara ke energi baru terbarukan.
“Ini tantangan baru bagi kita. Di saat bersamaan dibutuhkan cost investasi kapital yang tidak sedikit. Nah, inilah sebuah tantangan untuk kita, tapi kalau kita berbicara tentang Net Zero Emission pada tahun 2060, saya pikir kita masih mempunyai cukup waktu untuk melakukan langkah-langkah yang terukur,” katanya.
Bahlil juga menyoroti masalah impor Liquefied Petroleum Gas (LPG), yang mana konsumsi dalam negeri mencapai 8 juta ton per tahun. Sementara itu, produksi hanya 1,7 juta ton per tahun.
Ini membuat Indonesia harus mengimpor 6-7 juta ton LPG per tahun. Bahlil mendorong untuk produksi LPG dalam negeri.
“Saya mendengar informasi laporan, harganya tidak kompetitif. Karena harga yang diambil dalam negeri berbeda dengan harga Aramco yang jauh lebih mahal ketimbang harga dalam negeri. Itu yang kemudian industri kita tidak bisa kita lakukan. Insya Allah ke depan, kami akan menyarankan agar segera membangun industri energi dalam negeri memanfaatkan bahan-bahan baku yang ada dalam negara kita,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk