Tiga tahun bertahan di kancah bisnis digital, Tinkerlust kini berhasil menjadi salah satu pemain besar di bisnis e-commerce Indonesia. Mengusung konsep penjualan barang-barang pre-loved dengan kualitas terbaik, e-commerce ini berhasil menghadirkan tren bisnis baru di era disrupsi.
“Tinkerlust memiliki misi untuk meningkatkan nilai dari semua hal yang dimiliki oleh semua orang. Caranya? Dengan menyesuaikan style kita dengan pecinta fesyen lain di luar sana,” ujar Samira Shihab, Chief Executive Officer Tinkerlust di acara ASEAN Marketing Summit 2019 di Jakarta, Kamis (05/09/2019).
Lewat misi ini, Tinkerlust menjadi e-commerce barang-barang, terutama kategori produk fesyen pre-loved terbesar di Indonesia. Menurut Samira, hal ini didorong dengan keinginan pecinta fesyen yang kadang tidak sesuai dengan ukuran kantong mereka. Selain itu, adanya revolusi teknologi industri yang mengarah ke digital juga mendukung Tinkerlust untuk terus meningkat.
“Dalam 20 tahun teruakhir, teknologi sangat berperan besar dalam membantu kehidupan manusia. Hingga akhirnya digital revolusi yang sedang kita hadapi saat ini. Perubahan yang cepat ini bahkan berhasil mendorong Tinkerlust menjadi e-commerce terbaik di kategori produk secondhand,” lanjut Samira.
Tidak mudah membangun Tinkerlust dengan ide yang cukup ‘nekat’. Apalagi, disrupsi digital menyerang begitu kuat, bahkan berhasil membuat beberapa brand menyerah untuk meneruskan bisnisnya. Menurut Samira, ada tiga factor disrupsi digital, yaitu tools, platform, dan consumers. Ketiga faktor ini harus menjadi cara bagi pelaku bisnis digital untuk membangun bisnis di era disrupsi.
Bagaimana caranya? Samira membagikan tiga tips untuk memnagun bisnis digital. Pertama, pelaku bisnis harus memahami model bisnis yang digelutinya.
Dalam hal ini, pelaku bisnis harus tahu keadaan pasar dan kemampuan pasar terhadap bisnis yang sedang di bangun. Dalam hal ini Tinkerlust mengimplementasikannya dalam bentuk menjadi e-commerce preloved goods untuk pecinta fesyen yang ingin tetap trendi, namun tetap terjangkau.
Di sisi lain, pebisnis harus tahu bagaimana mereka membuka model bisnisnya agar menjadi tren. Terakhir, pebisnis harus memahami kesiapan tim dalam menghadapi disrupsi digital. Dengan demikian, pondasi bisnis akan kokoh kuat dari dalam perusahaan.
Editor: Sigit Kurniawan