Soho Group dikenal sebagai pemimpin di industri farmasi berbasis bahan alami, baik di pasar obat resep (ethical) maupun obat bebas (OTC). Ini tidak lepas dari upaya PT SOHO Industri Pharmasi, sebagai anak perusahaan, menghasilkan produk-produk inovatif. Salah satu brand-nya yang sangat familiar di tengah masyarakat adalah Curcuma Plus. Penjualan multivitamin penambah nafsu makan ini rata-rata mengalami pertumbuhan penjualan 20% per tahun.
Meski kesuksesan tersebut merupakan kerja sama tim, namun kontribusi Obed Fuk Liang sebagai Sales Director PT SOHO Industri Pharmasi patut diperhitungkan. Dalam mengomandani divisi penjualan, Obed tidak hanya memikirkan strategi penjualan ke pasar. Sebaliknya, dia turut memperhatikan bagaimana tenaga-tenaga penjualan yang dipimpinnya bisa semangat berjualan dengan menawarkan beragam skema insentif.
Bagaimana Obed menerapkan skema insentif itu bagi timnya? Berikut penuturannya.
Mengetahui Latar Belakang dan Motivasi
Dalam dunia kerja terdapat kelompok orang yang memang sudah memiliki jiwa kompetitif dan keinginan untuk berprestasi. Mereka ini biasanya tidak peduli dengan insentif karena yang terpenting bisa memberikan performa terbaik. Tapi ada juga kelompok satunya lagi yang sudah diberikan insentif tetap saja kurang produktif. Di sini timbul pertanyaan, kelompok mana yang sebenarnya berhak mendapatkan insentif? Dalam dunia penjualan, kedua kelompok itu sama-sama berhak.
Hari-hari ini tantangan terbesar yang saya hadapi adalah bagaimana menjaga keutuhan tim penjualan yang saya pimpin. Sebab merekrut orang baik itu sudah sulit, tapi jauh lebih sulit lagi adalah mempertahankannya. Karena itu ada baiknya mengenal baik latar belakang dan motivasi mereka yang bergabung dalam tim penjualan Anda. Bila ada yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman kerja lalu bergabung dalam tim penjualan, biasanya orang ini masih memikirkan hal-hal fisikal. Apabila ada yang menyampaikan alasan bergabungnya adalah untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan, berarti dia sudah sampai tahap mengaktualisasikan dirinya. Teori Maslow berlaku di sini.
Mencari tahu apa latar belakang dan motivasi mereka sedari awal sangat relevan dalam menentukan skema insentif apa yang menarik dan sesuai. Kita tidak bisa memaksakan skenario skema insentif yang baku bagi mereka yang punya faktor berbeda.
Menerapkan Insentif yang Inovatif
Hingga saat ini banyak perusahaan yang berbicara skema insentif itu hanya dari aspek finansial. Sebagai contoh, perusahaan merasa cukup dengan memberikan direct financial kepada tenaga penjualannya berupa bonus. Padahal bentuk-bentuk insentif bisa bermacam-macam. Bisa berupa traveling ramai- ramai atau family gathering bila tim itu berhasil mencapai target.
Ada satu perusahaan Korea di Indonesia yang memberikan anggaran promosi pada divisi penjualannya sekian rupiah dengan target sekian rupiah. Apabila ternyata biaya promosi aktualnya lebih rendah dari yang sudah dianggarkan, perusahaan itu tidak meminta sisanya dari karyawan, selama target terpenuhi. Saya tahu soal ini dari kakak saya yang bekerja di sana dan merasa beruntung dengan skema insentif yang diterapkan perusahaan itu.
Sistem ini masih terus bertahan hingga sekarang dan perusahaan itu growing-nya sangat signifikan, demikian juga dengan kakak saya. Bayangkan saat itu jabatan saya lebih tinggi dari dia, tapi justru dia yang lebih dulu bisa beli rumah bagus. Skema insentif demikian akan semakin memotivasi tenaga penjualan untuk menjalankan low budget high impact marketing.
Elaborasi dalam Memberikan Apresiasi
Saya sekarang ini juga mengembangkan beberapa skema insentif yang non finansial. Karena bagi tenaga penjualan yang sukses, sebetulnya non-financial incentive itu bisa memberikan dampak yang lebih kuat. Misalnya apresiasi. Perusahaan-perusahaan acapkali mengakui prestasi karyawannya, menyampaikan bahwa dia adalah penjual terbaik, melalui surat atau secarik memo. Ini usaha yang cukup bagus. Tapi sayangnya bila perusahaan hanya melakukaan hal yang standar seperti itu tidak akan memberikan dampak bagi karyawannya.
Saya sebenarnya masih melakukan hal yang sama, tapi saya mengelaborasi cara penyampaiannya. Pada meeting nasional antar tenaga penjualan yang biasa diadakan di sebuah hotel, saya meletakkan surat itu beserta sekotak coklat di atas tempat tidurnya. Jadi saat dia check in di hari pertama, dia akan menemukan surat personal itu.
Apresiasi lain yang pernah saya adakan adalah menjanjikan bagi tim penjualan di cabang-cabang daerah untuk melakukan perjalanan ke Jakarta, bertemu dengan petinggi-petinggi SOHO Group, dan saya traktir makan di Menara BCA. Dan tim penjualan yang berhasil ternyata berasal dari Sumbawa. Mereka senangnya bukan main, saya bisa lihat dari status BBM-nya. Mereka bisa makan dan berfoto bersama Komisaris dan petinggi lainnya dan menjadi pengalaman yang berarti bagi mereka.
Insentif non finansial itu perlu, tapi bukan berarti insentif berupa direct financial ditiadakan. Tenaga penjualan berhak memperolehnya. Dia akan meninggalkan perusahaan dalam waktu tidak lama bila haknya itu tidak diberikan.