Seorang marketer bertanggung jawab untuk menjual produk melalui komunikasi. Namun, sayangnya komunikasi yang dilakukan tidak berhasil untuk menjual.
Padahal, harapannya, komunikasi bisa digunakan untuk mempersuasi. Maka dari itu, tips meyakinkan orang lain selalu menjadi topik yang perlu dikuasai oleh para marketer.
Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science membagikan beberapa tips meyakinkan orang lain bagi para marketer dalam program Market Think pada kanal Youtube Marketeers TV.
Ketika ada sebuah produk yang bagus, fitur terbaik, harga bersaing, iklannya keren, merek dikenal orang, dan memiliki brand ambassador yang terkenal, tetapi masih tetap tidak dibeli oleh pelanggan, lalu salahnya di mana?
Untung mengungkapkan karakteristik marketer sangat beragam. Ada yang disebut marketer lugu yang berpikir bahwa tugasnya hanya membuat iklan, mencari apa yang menarik dari produk yang dijual, tanpa tahu bahwa sebenarnya mereka harus mampu mempersuasi.
“Karena kesuksesan marketing bukan sekadar viral, tetapi produknya laku atau tidak, itu yang lebih penting,” ujar Untung.
Jenis marketer kedua adalah marketer naif yang tahu bahwa tugasnya bikin produk laku dan caranya mempersuasi, tapi hanya berpikir itu cukup dilakukan melalui iklan dan komunikasi. Namun nyatanya, banyak orang yang berkomunikasi, tetapi tidak semua bisa benar-benar connect (terhubung).
Untung menjelaskan ada sejumlah tingkatan agar komunikasi bisa menjadi lebih persuasif. Tingkat yang paling dasar adalah menyampaikan informasi untuk bisa melakukannya atau sekadar grab attention.
“Tapi sekarang banyak fakir attention ya, cari perhatian dengan segala cara termasuk ketika tidak relevan, fokusnya hanya yang penting dapat perhatian. Jebakannya adalah perhatiannya dapat, tapi informasinya enggak,” ucap Untung.
BACA JUGA: 4 Soft Skills Krusial di Masa Depan, agar Tak Kalah Saing dengan AI!
Pasalnya, setiap orang dapat menilai sesuatu dengan perspektif yang berbeda-beda tergantung dengan latar belakang yang dimilikinya. Jika salah mendesain komunikasi, maka informasi yang diterima audiens pun bisa tidak sesuai dengan tujuan awal.
Tingkatan kedua, yaitu saat informasi disampaikan dan dipahami audiens namun belum terbangun kesamaan visi yang ingin diharapkan marketer.
“Butuh banget untuk kita mengerti apa sih maunya audiens, apa yang relevan untuk dia, needs and wants. Makanya empati penting dan disini consumer insights menjadi harga mati,” ujar Untung.
Dengan begitu, tujuan utama dari berempati kepada pelanggan adalah untuk menghindari maksud ditangkap dengan baik, namun tidak sejalan yang ujungnya komunikasi tidak dapat mendorong persuasi.
Tingkatan ketiga yang paling penting dalam upaya untuk mempersuasi adalah maksudnya sama-sama bisa ditangkap dan fokusnya juga selaras dengan tujuan komunikasi, sehingga audiens sepakat dengan pesan yang disampaikan.
Pada tingkatan tersebut, pelanggan memahami ternyata iklan ini yang sebenarnya dicari. Namun kembali lagi, belum tentu pelanggan tersebut bersedia untuk membeli.
Jika tugas marketer hanya membuat iklan, maka tugasnya selesai ketika pelanggan pada tahap tersebut. Akan tetapi, orang marketing semestinya mampu membangun motivasi dan mendorong pelanggan untuk membeli.
“Berbagai bentuk komunikasi untuk bikin orang mengerti dan tertarik itu adalah berbicara soal creating motivasi dan membuat orang menginginkannya,” tuturnya.
Untung menyebut sering kali ketika ingin mepersuasi orang lain, hanya berfokus dan kebanyakan berpikir pada goals-nya saja. Ibaratnya, orang tentu tidak kehabisan alasan untuk bisa liburan ke Eropa, tetapi ketika di tengah usaha menghemat dan menabung biaya traveling, terdapat banyak hambatan, seperti handphone baru hingga konser artis idola.
Dalam konteks membangun komunikasi, ada dua unsur yang perlu diperhatikan, yaitu motivasi dan ability. Ketika audiens melihat sebuah iklan dan mereka tertarik, maka mereka memiliki motivasi.
BACA JUGA: Interpersonal Skill: Kunci Cakap dan Terampil di Dunia Kerja
Akan tetapi, jika ternyata belum mampu membelinya, ini termasuk dalam ability, meski tidak selalu karena uang, bisa karena faktor pertimbangan lain sebelum membeli.
Maka dari itu, banyak merek yang menawarkan diskon, cicilan 0%, membuat produk mudah dijangkau, dan lainnya. Namun, Untung juga menegaskan terdapat heuristic bias dalam penawaran-penawaran tersebut yang perlu marketer perhatikan.
Misalnya, ketika diskon diterapkan dalam waktu panjang, maka ini menjadi hal yang tidak baik, konsumen menjadi menunda-nunda untuk membeli dan akhirnya lupa.
Contoh kedua adalah platform belajar Bahasa Inggris online yang memiliki waktu belajar fleksibel sesuai dengan ketersediaan waktu pelanggan. Akan tetapi, dengan fleksibilitas waktu yang diberikan dapat membuat pelanggan juga membatalkan jadwal belajarnya.
Karena tidak ada waktu untuk belajar, pelanggan malah menjadi tidak puas dan merasa platform yang dibayarnya tidak memberikan hasil yang signifikan. Ini menjadi suatu hambatan di tengah jalan yang perlu diperhatikan oleh para marketer untuk mengantisipasi hal tersebut.
Akan tetapi, berbeda dengan IKEA yang biasanya membuka gerai di pinggiran kota yang jauh dari pusat kota. Secara psikologis, IKEA ingin mendorong orang untuk membeli produknya karena sudah jauh-jauh pergi ke pinggiran kota.
Untuk meyakinkan pelanggan, beberapa toko juga menyajikan minuman kepada pelanggan yang datang, meskipun belum ada komitmen untuk beli.
Hal ini dilakukan untuk melihat keseriusan pelanggan. Pelanggan yang tidak minum, sebagian besar tidak akan membeli atau masih berpikir-pikir.
Akan tetapi bagi pelanggan yang bersedia minum akan beli. Dari sudut pandang pelanggan, apa yang dilakukan toko dapat membangun kepercayaan dan persepsi bahwa pemilik toko baik.
Selain itu, memberikan rasa bersalah kepada pelanggan ketika sudah minum tetapi tidak membeli apa pun.
“Ketika kita ingin meyakinkan orang lain, jangan jadi marketer yang maunya gede, tetapi tidak ada tenaga. Kedua, memikirkan goal penting, tetapi pikirkan juga tengahnya yang seringkali menjadi akar dari datangnya masalah,” ujar Untung.
Dengan begitu, tips meyakinkan orang lain bertumpu pada empati dan kedewasaan yang penting untuk dimiliki seorang marketer agar menyelesaikan persoalan yang dimiliki pelanggan, bukan yang dimiliki oleh owner.
Untuk menjadi marketer yang persuasif, marketer juga perlu untuk memahami psikologis konsumen, heuristic bias, friction, dan decision point dari pelanggan, sehingga marketer dapat melakukan strategi yang benar-benar mampu mendorong pembelian.
BACA JUGA: Entrepreneur Wajib Punya 5 Interpersonal Skills Ini
Editor: Ranto Rajagukguk