Jangan ragu untuk memulai usaha saat ini. Namun, jangan pula gegabah. Pahami dulu eleman paling mendasar dari strategi bisnis 4C, yang dua antaranya Change dan Company.
Jika Anda melihat UKM favorit Anda, katakanlah keripik yang sering Anda beli dari kampung halaman untuk dijadikan bekal oleh-oleh, selama ini, apakah ada yang berubah dari perusahaan yang memproduksi keripik tersebut? Apakah kemasannya berubah? Atau channel penjualannya sudah memanfaatkan e-commerce? Atau mereka sudah menggunakan media sosial?
Jika tidak ada satupun, UKM tersebut seperti “kelaparan” di atas tumpukan padi. Meskipun bisnis mereka tumbuh, namun pertumbuhannya tidak eksponensial, karena kliennya adalah orang yang hanya berkunjung ke daerah tersebut.
Sejatinya, bisnis itu harus tumbuh dari segi size maupun omzet atau pendapatan. Karena itu, penting bagi UKM untuk mengamati faktor Change yang ada. Faktor utama perubahan adalah perkembangan teknologi melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Teknologi menjadi bagian Change pertama yang kudu dianalisis.
Mengapa? Karena teknologi hadir membawa kebaruan sekaligus disrupsi bagi kemapanan. Bisnis yang tidak siap dan adaptif dengan teknologi, dipastikan bakal terengah-engah dan bahkan pailit lanjut gulung tikar. Ingat kasus taksi konvensional yang terus tergerus oleh keberadaan taksi online. Teknologi dengan cepat melahirkan banyak kebaruan.
Karenanya, dalam hal teknologi, UKM sudah sewajarnya memanfaatkan apa yang sedang berkembang saat ini, yaitu gelombang penjualan daring alias e-commerce. Sampai saat ini, meskipun banyak pemain e-commerce besar menargetkan UKM sebagai tenan online mereka, namun masih banyak UKM di tanah air yang belum go-online.
Bukalapak saja menargetkan 4 juta pelapak pada tahun 2018, atau hanya 7,2% dari total UKM tanah air yang berjumlah 55 juta menurut Kementerian KUKM. Dengan go online, UKM bisa memasarkan produknya hingga ke pelosok nusantara, bahkan hingga luar negeri.
Salah satunya dirasakan oleh Dina Agustin, seorang karyawati yang banting setir menjadi penjual wallpaper interior di salah satu toko online. Dalam sebuah wawancara, ia mengaku bahwa pendapatan bulanan dari toko online-nya mencapai 11 kali lipat lebih banyak dibandingkan gajinya ketika bekerja sebagai pegawai kantoran dulu.
Tak hanya bisnis, teknologi juga mengubah wajah kehidupan sosial dan politik. Fenomena jejaring sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram mengubah cara seseorang memperoleh informasi dan mendapatkan konten hiburan. Maka dari itu, UKM jangan pernah lupa untuk memiliki akun di media sosial agar bisa engage dengan konsumennya.
Karena saat ini pun, platform media sosial seperti Facebook telah memiliki fitur Facebook for Business. Sebab, patut dipahami bahwa di berbagai pelosok daerah nusantara, masih banyak orang mengenal internet pertama kali melalui Facebook. Jadi, bukan sekadar platform komunikasi, UKM pun bisa memperbesar pasarnya melalui media sosial.
Biasanya, perubahan teknologi ini turut memengaruhi perubahan elemen Change lainnya, seperti ekonomi, political-legal, sosio-kultural, maupun market. Nah, UKM juga perlu mempelajari political-legal sebuah wilayah, regulasi, undang-undang, dan sebagainya. Misalnya, soal kepatuhan membayar pajak. Jangankan membayar pajak, nomor pokok wajib pajak (NPWP) pun rata-rata belum dimiliki pelaku UKM Indonesia.
Padahal, memiliki NPWP menjadi syarat untuk mengajukan kredit usaha rakyat (KUR). Apalagi, Pemerintah telah menurunkan tarif final Pajak Penghasilan atau PPh untuk pelaku UKM dari 1% menjadi 0,5%.
Itu artinya, regulasi amat berpengaruh pada aturan main dinamika pasar dan bisnis. Jangan sampai, UKM menjalankan bisnis, namun ternyata terhambat oleh regulasi yang ada karena hanya tidak mematuhinya.
UKM juga perlu melihat kehidupan sosial budaya tempat bisnis mereka dijalankan. Jangan sampai, produk atau bisnis UKM tidak relevan dengan segmen yang dituju. Misalnya, segmen youth yang tengah mendominasi saat ini. UKM harus mengubah image nya agar bisa menarik minat segmen tersebut. Sebab, youth saat ini mempengaruhi segmen lain seperti kalangan senior atau orang tua mereka.
Buktinya saja, Tropicana Slim yang dulu melabeli diri sebagai mereknya para penderita diabetes yang notabene berusia 40 tahun ke atas, kini mulai menonjolkan sosok anak muda dalam kampanyenya. UKM pun dituntut untuk berpikir muda.
Nah, jika sudah mengamati Change, kini giliran memikirkan strategi yang dibuat company agar bergerak dinamis dan futuristik, bukan past oriented. Karena company mesti berfokus pada masa depan, maka konsep TOWS (Threat, Opportunity, Weakness, Strength) lebih sesuai ketimbang SWOT yang lebih me-refer ke masa lalu.
UKM harus menempatkan posisi masa depan (visi) dengan melihat Threats ataupun Opportunities sebagai ‘peluang’. Dengan merasa selalu terancam, maka UKM akan selalu berinovasi dengan kekuatan dan kekurangan yang dimiliki. Paradigma harus diubah untuk bisa berubah, termasuk pola evaluasi yang selama ini digunakan. Karena itulah, strategi harus disusun berdasarkan analis TOWS!
Dengan begitu, Company bisa melihat lebih dulu atau punya foresight terhadap threat dan opportunities yang akan timbul dari perubahan yang terjadi. Barulah setelah itu, dilakukan forecast terhadap perubahan yang terjadi pada Customer dan Competitor! Akhirnya, Company bisa melihat weakness dan strength-nya sesuai dengan kesiapannya menghadapi perubahan yang ada.
Menurut Gunawan Te, SME Business Head Bank Danamon, salah satu weakness bisnis UKM saat ini adalah masih menganut sistem konvensional alias ketinggalan zaman untuk urusan marketing.
“Tugas Anda sebagai pemilik bisnis adalah membuat bisnis Anda semenarik mungkin dengan cara mengubah branding, mulai dari logo, tagline dan juga siasat marketing. Branding merupakan hal yang sangat penting untuk membuat bisnis Anda berkembang,” terang dia.
Editor: Eko Adiwaluyo