Mungkin saat Valentine Anda pernah membeli Toblerone sebagai hadiah manis untuk pasangan. Kini, Toblerone yang legendaris sedang berada di persimpangan jalan. Ada apa?
Sebagai sebuah strategi bisnis, Toblerone ingin memindahkan pabrik dari Swiss ke Slowakia pada akhir tahun 2023. Perpindahan pabrik ini memicu sikap dari Pemerintah Swiss bahwa Gunung Matterhorn sebagai gambar ikonik Toblerone harus dicabut dari kemasannya.
Gambar ikonik gunung lancip ini memberikan makna tersendiri bagi Toblerone sebagai sebuah brand.
Para pakar marketing dunia yang mengamati fenomena ini ikut serta dalam memberikan opini dan pandangannya. Tak sedikit orang menyebut jika gunung tersebut dicabut dari packaging-nya, maka akan memengaruhi pembelian pelanggan. Gambar gunung yang melekat sudah diasosiasikan begitu dekat dan melekat dengan brand Toblerone.
Pendapat lainnya menyebutkan bahwa strategi ini tidak akan berpengaruh pada minat beli pelanggan. Tentu saja seseorang ingin membeli cokelat Toblerone tidak hanya karena ada Gunung Matterhorn saja.
Ignatius Untung, pakar Marketing dan Behavioral Science dalam program Market Think pada kanal Youtube Marketeers TV juga turut andil untuk menjelaskan fenomena Toblerone.
BACA JUGA: Inovasi vs Invensi vs Kreativitas: Gagasan Anda Masuk Kategori Apa?
“Otak itu juga punya ketertarikan untuk menghemat energi dengan mode autopilot. Banyak studi menunjukkan bahwa 90% momen dari hidup kita sehari-hari lebih banyak pakai autopilot,” ujar Untung.
Dalam buku Thinking, Fast, and Slow yang ditulis Daniel Kahneman menyebutkan bahwa autopilot disebut sistem satu. Cara kerjanya mengotomatisasi tindakan dengan mengandalkan database atau ingatan yang sudah tersimpan.
Dengan autopilot ini, orang akan hafal di luar kepala, melakukan dengan cepat, dan terjadi dengan spontan.
Meskipun manusia memiliki autopilot dengan memori yang tersimpan, namun akurasinya dalam mengingat logo cukup rendah. Dalam sebuah penelitian, sebagian besar orang gagal untuk dapat menggambarkan sebuah logo secara detail dan akurat.
“Memori itu secara sebagian atau keseluruhan sering diterima secara subliminal dan itu yang membuat kita tidak bisa mengartikulasikan dengan baik. Yang kita ingat itu sebenarnya garis besarnya saja, big picture-nya aja,” sebut Untung.
Jika ditarik pada kasus sebuah brand, otak kita tidak perlu melihat sebuah logo atau packaging secara detail. Mode autopilot kita cukup melihat konsistensi gambar secara big picture. Kita memiliki ruang untuk mengeksplorasi sebuah gambar lebih jauh lagi.
“Mode autopilot ini juga yang membuat kita menghemat waktu saat kita berbelanja di supermarket, scanning dengan cepat, dan memilih di luar kepala. Kita cuma lihat big picture saja, bukan hal sepele-nya,” tutur Untung.
BACA JUGA: Inovasi adalah Kunci Bisnis Berkelanjutan dan Tetap Eksis di Era Kekinian
Kasus Gunung Matterhorn dalam Toblerone ini sama dengan Tropicana Juice. Namun, Tropicana mengubah keseluruhan elemen dalam packaging yang hanya mempertahankan terlalu sedikit benang merah.
Apa yang terjadi dengan Tropicana? Penjualan yang turun drastis ketika logo semakin sulit dikenali. Kasus ini perlu juga dijadikan pelajaran bagi brand yang ingin meremajakan logo.
“Ketika kita ganti logo, kita harus tahu konsepnya bahwa benang merah harus dipertahankan,” ucap Untung.
Brand yang telah terbukti berhasil dalam pergantian dan peremajaan logo adalah Pizza Hut, McDonald’s, dan Pepsi yang dari tahun ke tahun mempertahankan elemen penting dari logonya.
“Dengan begitu, Toblerone harus hati-hati ketika ingin menghilangkan icon Matterhorn di kemasannya, Toblerone perlu melakukan research dulu, apakah icon Matterhorn ini direkam oleh konsumen sebagai detail pendukung atau jangan-jangan komponen utama, apakah subiminal atau conscious,” jelas Untung.
Untuk melakukan riset pada kasus Toblerone ini tidak bisa dilakukan dengan metode kualitatif maupun kuantitatif, tetapi harus dengan pengukuran biometrics. Mengapa begitu?
Sebuah icon yang telah melekat di benak konsumen telah menempel di alam bawah sadar, sehingga riset yang dilakukan bertujuan untuk menggali reaksi autopilot yang lebih kuat.
“Kalau ternyata dari research ini temuannya bahwa Matterhorn itu cuma pendukung, maka kita bisa dengan lega hati yaudah deh tinggalin aja gapapa. Tapi kalau itu hal utama, big picture-nya, maka risikonya besar dan Toblerone dan harus cari shape yang mirip sama Matterhorn atau cari sesuatu yang supaya bisa di-retain tetap dipertahankan. Orang nggak kehilangan recognizability terhadap packaging Toblerone,” ungkap Untung mengenai langkah yang bisa diambil oleh Toblerone.
Kesimpulannya adalah bahwa brand appearance itu tidak melulu soal mana yang lebih artistik, tetapi mana yang lebih mudah dikenali dan secara konsisten bisa terekam dan ter-recall dengan mode autopilot.
Ini bahkan berpengaruh besar pada saat konsumen hanya menangkap sebagian atau potongan awal informasi. Memori ini tidak terbatas pada kemasan saja, tetapi juga pada seluruh hal yang diproses pada pikiran konsumen, baik brand asset, brand properties, bahkan feel yang terbangun ketika orang melihat brand tersebut.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz
BACA JUGA: Burger King Usung Traffic Jam Whopper demi Relevan dengan Pelanggan