Marketing tidak hanya dibutuhkan di sektor produk food and beverages, otomotif, hingga fesyen. Industri jasa pun membutuhkan marketing, terutama pariwisata yang kian booming di Tanah Air. Sebagai industri jasa mengedepankan experience, marketing adalah salah satu komponen kreatif. Sesuai dengan marketing 3.0 yang mengusung human spirit, tidak hanya produk yang dijual, tetapi lebih dari sebuah experience biasa. “Di jaman serba terkoneksi ini, pariwisata tidak hanya kontennya yang harus kreatif, tetapi marketingnya juga. Agar tidak hanya sekedar menawarkan produk, tetapi juga experience sehingga konsumen merasa senang ada ada engagement diantara mereka,” ujar CEO dan Founder MarkPlus, Inc. Hermawan Kartajaya dalam Creative Tourism Seminar 2013 pada Jumat (30/8) 2013 di JCC, Jakarta.
Hermawan menjelaskan bahwa saat ini konsumen melihat produk lewat awareness, attitude, ask, act, sampai advocate. Poin terakhir ini lahir karena semakin terkoneksinya dunia lewat internet. Setelah merasakan layanan dari produk sebuah pariwisata, konsumen dapat memberikan review sehingga bisa dibaca oleh publik. Kualitas produk pariwisata amat tergantung dari penilaian konsumen alias advokasi. Hermawan mencontohkan objek pariwisata yang sudah memenuhi konsep 3.0. “Cobalah datang Saung Ujo di Bandung. Tidak hanya sekedar menawarkan angklung alias produk yang 1.0. Mereka juga menawarkan atraksi angklung alias kepuasan konsumen yang 2.0. Konsep 3.0-nya datang dari workshop yang memungkinkan pengunjung ikut mencoba membuat angklung,” imbuh Hermawan. Sebuah produk papriwisata juga harus punya konsep yang jelas lewat diferensiasi ditawarkan. Atraksi pariwisata suatu tempat biasanya sudah diberikan dari alam seperti Komodo di Indonesia. Sumber daya manusianya harus melihat dan mengolahnya sebagai diferensiasi yang membedakan dari tempat lain. Memikirkan sebuah diferensiasi adalah yang pertama harus dilakukan sebelum membuat produk terdahulu lalu menjual. “Dengan diferensiasi serta produk yang mengacu 3.0, konsumen tidak hanya akan mengatakan oke saja. Mereka minimal harus mengatakan “aha”, bahkan “wow”. Kalau sudah begitu konsumen istilahnya sudah ter-engage. Mereka akan fanatik dan berulang kali. Dengan cara begitu pula turis akan tumbuh terus. Tourism tanpa marketing adalah tourism tanpa direction,” tutup Hermawan.