Ketika Anda melihat percintaan orang lain senantiasa berjalan mulus dan bahagia, bukan berarti hubungan itu sempurna. Pasangan tersebut sebenarnya bisa saja sedang mengalami banyak masalah, namun terkukung dalam fase yang penuh toxic positivity.
Anxiety and Depression Association of America mendefinisikan toxic positivity dalam hubungan sebagai fase saat pasangan atau diri sendiri biasanya memberikan pesan beracun dengan selalu menyebutkan untuk selalu bersikap tegar dan berhenti mengeluh.
Padahal, sikap selalu tegar tanpa mengeluh tersebut berpotensi mengabaikan kondisi nyata dan mengeliminasi rasa sakit yang dirasakan. Jika terus diabaikan, perasaan itu akan terakumulasi menjadi depresi, kecemasan, bahkan amarah yang dapat memicu konflik.
BACA JUGA: Terlalu Cepat Jatuh Cinta Bisa Berujung Benci, Hindari dengan Cara Ini
Salah satu contoh hubungan yang penuh toxic positivity adalah ketika pasangan kedapatan selingkuh, Anda tetap menerimanya. Penerimaan ini didasarkan atas pemikiran bahwa Anda kurang memperlakukan pasangan dengan baik, sehingga tidak layak untuk protes.
Contoh lainnya, saat pasangan sering menghabiskan waktu lebih intens dengan sahabatnya ketimbang Anda sendiri. Anda akan berpikir bahwa sahabatnya sudah lebih dulu mengenal si dia, sehingga Anda tidak bisa membahas ini karena takut hubungan mereka hancur.
Cara Mengatasi Toxic Positivity dalam Hubungan
Untuk mengatasi toxic positivity dalam hubungan, cobalah beri ruang bagi pikiran dan perasaan Anda, sekalipun hal tersebut tidak nyaman. Tujuannya bukan untuk semata-mata merasa lebih baik, tetapi mencapai keadaan bahagia atau bahagia tanpa getaran negatif apa pun.
BACA JUGA: Putus Bukan Solusi, Ini Cara Mengatasi Rasa Bosan dalam Hubungan
Anda juga perlu merasakan seluruh rangkaian emosi dengan cara yang lebih sehat. Memberi ruang bagi perasaan, bahkan perasaan yang menyakitkan seperti kesedihan atau kecemasan, dapat mengeluarkan seseorang dari siklus toxic positivity.
Jangan pula menyalahkan diri sendiri dengan berandai-andai menggunakan kata “seharusnya”. Keyakinan seperti, “Saya seharusnya memperlakukan lebih baik” merupakan ekspektasi hanya akan mengganggu kesehatan mental.
Terakhir, Anda perlu memvalidasi perasaan diri sendiri. Menerima apa adanya memang bisa membuat Anda dalam kondisi terpuruk.
Namun, kondisi tersebut akan lebih cepat pulih ketimbang mengabaikannya dan melihatnya dengan sisi-sisi baik saja.
Editor: Ranto Rajagukguk