Salah satu merek global yang sering dijadikan model brand storytelling adalah Apple. Sejarah jatuh bangun Apple tidak lepas dari kisah sang pendirinya, Steve Jobs (1955-2011). Dalam kisah hidupnya, seperti diacu dari buku Building Story Brand (HarperCollins Publishers, 2017) karya Donald Miller, Jobs mengalami titik balik yang menentukan nasib Apple di kemudian hari. Transformasi Jobs juga menjadi trasnformasi Apple. Seperti apa?
#01. Dari Product Centric ke Customer Centric
Miller mengatakan Jobs mengalami semacam “pertobatan” pola pikir tentang Apple yang ia dirikan. Pada masa-masa awal beroperasi, Apple sangat product centric. Strategi pemasarannya sangat hardselling dengan bahasa komunikasi yang tidak mudah dipahami oleh konsumen awam yang menjadi segmen pasarnya.
Hampir di semua iklannya, Jobs membombardir konsumen dengan info tentang produk komputernya. Pada tahun 1983, Apple merilis komputer yang diberi nama Lisa. Jobs kemudian memasang iklan di New York Times. Tak tanggung-tanggung, sembilan halaman iklan Apple. Isinya hanya produk dengan fitur teknis dan spesifikasi produk saja. Kemasan bahasanya sangat teknis.
Miller menyindirnya sembari mengatakan hanya pakar komputer dan orang NASA saja yang paham bahasa iklan Apple tersebut. Hasilnya? Pesan dengan bahasa rumit dan berpusat pada produk itu tidak sampai ke segmen pelanggannya karena mereka tidak mampu memahami.
Namun, semua itu berubah setelah Jobs menggarap Pixar, sebagai perusahaan studio animasi yang memproduksi konten-konten cerita. Di Pixar, Jobs sehari-hari dikelilingi oleh para storyteller. Sampai di suatu saat, Jobs mulai menyadari cara pemasaran yang ia lakukan selama ini ternyata salah. Ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa “story is everything” untuk Apple.
Sejak saat itu, transformasi pemasaran di Apple mulai terjadi dari product centric ke customer centric. Cara beriklan Apple pun berubah, tidak lagi membombardir dengan iklan sembilan halaman di koran dengan penuh kata-kata “dewa”, tetapi cukup dengan bilboard yang tersebar di kota-kota besar di Amerika Serikat yang mengusung dua kata saja: Think Different.
#02. Menempatkan Pelanggan Sebagai Hero
Dengan bergesernya paradigma pemasaran dari fokus ke produk menuju fokus ke pelanggan, Apple mulai membangun brand storytelling dari sudut pandang pelanggan. Dalam komunikasi pemasarannya, Apple mulai memposisikan pelanggan sebagai hero atas hidupnya sendiri dan tidak lagi menjadikan Apple sebagai pahlawan bagi mereka dengan hard selling.
Seperti dalam tulisan sebelumnya berjudul “Dalam Brand Storytelling, Jadikan Pelanggan Anda Hero”, Apple memosisikan sebagai enabler yang membantu pelanggan, sang pahlawan, mampu berperang melawan musuhnya. Apple mempersenjatai pelanggan dengan produk-produk untuk mengatasi persoalan dan kompleksitas yang dihadapi pelanggan saat menggunakan komputer. Miller menegaskan, “The story of Apple isn’t about Apple, it’s about you.”
#03. Dari Komunikasi Rumit ke Simpel
Salah satu kelemaham pemasar dalam membangun cerita merek menurut Miller adalah penggunaan kata-kata berlebihan. Pemasar cenderung ingin memuntahkan segala informasi tentang produk dalam banyak kata. Akibatnya, iklan pun cenderung bising dan berlebihan kata-kata (wordy).
Hal ini persis seperti yang pernah dilakukan Apple ketika mempromosikan produk awalnya dengan memasang iklan sembilan halaman koran penuh dengan kata-kata rumit dan penuh kompleksitas. Kemudian berubah dengan komunikasi pemasaran yang lebih simpel dan humanis dengan slogan saat itu: think different. Mulai saat itu, merek Apple semakin menguat di benak para pelanggan dengan pasar yang semakin meluas hingga di pasar global.
Dari sini, pemasar harus menyadari bahwa komunikasi yang simpel dan jelas akan lebih mudah menarik perhatian konsumen. Dan, Miller mengulang-ulang pesan di bukunya: clarify your message, so customer will listen.
Bagaimana dengan praktik brand story perusahaan Anda?