Transformasi Digital, Tidak Selalu Menguntungkan Tapi Harus Dilakukan
Transformasi digital menjadi suatu keharusan untuk berbagai industri saat ini. Meski sekarang dirasa tidak selalu menguntungkan. Sebab itu, tidak heran jika transformasi digital ini disebut sebagai necessary evil.
Kita punya dua pilihan yang keduanya sama-sama rugi. Tinggal memilih saja mana yang lebih sedikit ruginya. Bicara soal transformasi digital dalam bisnis, tentunya opsi yang diambil adalah pilihan yang less pain untuk kita.
CEO Marketeers Iwan Setiawan pada program Marketeers TV bertajuk Analisis mengungkapkan digital transformation is necessary evil. Ungkapan ini tampaknya sejalan dengan berbagai riset yang telah dilakukan. Salah satunya dari Capgemini yang menemukan bahwa perusahaan yang melakukan transformasi digital justru menghadapi penurunan profitabilitas. Mengapa demikian?
Untuk membahas hal ini, Iwan menceritakan contoh kasus di industri ritel dan fast-moving consumer goods (FMCG). “E-commerce di Indonesia hanya berkontribusi 5%-10% dari total penjualan ritel. Jumlah ini terhitung sedikit dan tertinggal jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat yang penjualan di e-commerce mencapai 15%-20%,” jelas Iwan.
Selain dari penjualannya, e-commerce ini masih terhitung rendah di industri ritel. Jika dilihat dari spending untuk bujet pemasarannya, para pemain di industri ritel atau FMCG hanya menggunakan 5%-10% dari bujet pemasaran untuk kanal digital. Hal ini menunjukkan masih sangat terbatasnya jangkauan pemasaran digital mereka.
Pemain ritel atau FMCG tampaknya masih enggan masuk sepenuhnya ke kanal digital ini. Bahkan Anda bisa menemukan contoh sederhana dengan bertanya pada konsumen. Ketika menonton sesuatu di platform digital, iklan apa yang biasa mereka lihat? Pasti kebanyakan dari mereka menyaksikan iklan dari perusahaan teknologi seperti Shopee atau Gojek. Sangat jarang yang menjawab merek-merek ritel atau FMCG.
Teknologi atau dalam hal ini e-commerce bagi konsumen ritel dan FMCG di Indonesia terkadang masih dianggap hanya sarang diskon. Karena, kebiasaan konsumen saat belanja, mereka biasanya mengejar promo.
Kisah serupa juga harus dirasakan industri telekomunikasi. Iwan menjelaskan bahwa transformasi digital justru menekan pendapatan di industri ini, Di masa keemasannya, industri telekomunikasi unggul dengan model bisnis yang disebut legacy service yaitu saat mereka menjual paket voice dan sms.
Kala itu, nilai profitabilitas atau EBITDA dari para pemain di industri telekomunikasi sangatlah tebal. Namun, saat mereka harus beralih ke layanan data yaitu menjual paket data yang permintaannya saat ini sangat besar di pasar, profitabilitas mereka justru mengalami penurunan.
“Kalau kita lihat, permintaan dari internet selama pandemi ini meningkat. Tapi mengapa laporan keuangan perusahaan telekomunikasi pendapatannya tidak naik setajam kenaikan kapasitas yang mereka gunakan untuk menyediakan internet? Banyak yang beranggapan semakin banyak paket data yang dijual maka perusahaan telekomunikasi semakin banyak dirugikan,” pungkas Iwan.
Lebih lanjut ia menambahkan, hal ini tampaknya dikarenakan hingga saat ini belum ditemukan model yang menguntungkan bagi perusahaan telekomunikasi untuk memberikan paket data yang affordable bagi pasarnya.
Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan luas. Sehingga ketersediaan internet pun belum merata antara kota-kota besar dan wilayah terpencil.
The Necessary Evil
Terlepas dari kondisi yang dihadapi, cepat atau lambat para pelaku di industri apapun pada akhirnya harus melakukan digitalisasi. Karena, kembali lagi digital transformation is necessary evil. “Meski prosesnya menyakitkan, kita mau tidak mau harus mengarah ke sana,” kata Iwan.
Mengapa demikian? Iwan menegaskan bahwa end game-nya adalah omni. Pada akhirnya kerika bicara pemasaran, perusahaan baiknya mengombinasikan pemasaran online dan offline atau pemasaran konvensional dengan digital. Dan, semuanya sedang menuju ke sana.
Founder and Chairman MarkPlus, Inc Hermawan Kartajaya pernah mengatakan digital is cool but human is warm. Hal ini diterjemahkan oleh Iwan menjadi teknologi memang keren tapi manusia tetaplah senang berinteraksi dengan sesama manusia.
“Karena, semakin kita berinteraksi secara digital, kita semakin haus terhadap interaksi dengan manusia. Kombinasi ini adalah masa depan dari pemasaran,” tutup Iwan.
*Selengkapnya saksikan ANALISIS
https://www.youtube.com/watch?v=6lY4HBRgTYQ