Tren Direct to Consumer: Apakah D2C akan Menggantikan Marketplace?
Tren Direct to Consumer atau D2C tengah menyelimuti pelaku bisnis e-commerce. D2C merupakan model bisnis yang memungkinkan produsen untuk menjual produk barang atau jasa secara langsung ke konsumen tanpa menggunakan perantara. Umumnya, pendekatan ini dilakukan perusahaan agar dapat bersentuhan langsung dengan konsumen mereka.
Model ini bagi sebagian merek lebih dipilih. Di Amerika contohnya -mengutip dari CNBC-, sejak tahun 2020 brand-brand besar seperti IKEA dan Nike telah meninggalkan Amazon sebagai saluran penjualan mereka dan beralih ke D2C.
Di Indonesia, L’Oréal juga melihat adanya tren penjualan melalui social commerce. Produk personal care asal Prancis ini bahkan mengekspansikan ruang livestream mereka ke berbagai media sosial.
Menurut Fabian Prasetya Wijaya, Chief Digital & Media Officer L’Oréal, social commerce ini akan terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan platform tersebut.
“Kalau dilihat, media sosial terus berkembang. Bahkan, TikTok ini hampir sepopuler Instagram. Dan uniknya, platform ini seperti tahu apa yang orang suka dengan terus memunculkan konten yang sesuai dengan mereka,” katanya.
BACA JUGA: Masuk ke Social Commerce, Loreal Kini Punya 6 Ruang Livestream
Kyungmin Bang, CEO dan Founder platform e-commerce Plugo memprediksi hal serupa juga akan terjadi di Indonesia. Kyungmin bahkan mengklaim ada banyak pengguna Plugo versi beta yang memutuskan untuk meninggalkan marketplace dan membuat website toko online mereka sendiri.
Di sisi lain, Bank Indonesia mencatat transaksi e-commerce sepanjang tahun 2022 tumbuh 19%, yaitu mencapai Rp 479,3 triliun. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2021 sebesar 33,2%.
Perlambatan ini disebut-sebut imbas dari pemulihan ekonomi pascapandemi dan merebaknya tren social commerce. Berdasarkan survei, TikTok Shop menjadi platform social commerce nomor satu di Indonesia, disusul WhatsApp Business, Facebook, dan Instagram Shop.
Bagi pemilik brand, platform marketplace dinilai sulit digunakan untuk melakukan branding dan memperkuat hubungan dengan pelanggan. Hal ini yang dirasakan pula oleh para pelaku UKM seperti Gonegani.
“Sebagai brand fesyen, tampilan toko online dan brand experience menjadi yang paling utama. Kedua hal ini sangat sulit untuk didapatkan di marketplace karena tidak adanya ruang untuk kustomisasi sehingga visual yang disajikan menjadi sangat generik,” ujar Khairul Gani, pemilik brand fesyen Gonegani dalam laporannya.
Menurutnya, banyak pelanggan yang bahkan tidak menyadari bahwa ketika mereka berbelanja produknya di marketplace, mereka sebenarnya membeli dari Gonegani, bukan dari marketplace itu sendiri.
BACA JUGA: Live Selling Jadi Tren, Mampu Tingkatkan Transaksi 411%
Ketidakmampuan pelanggan untuk membedakan keduanya membuat brand kesulitan untuk membangun channel penjualan tersebut sebagai 100% milik sendiri. Brand akan selamanya menjadi perpanjangan tangan dari marketplace.
Meski begitu, Kyungmin menegaskan bahwa platform D2C seperti yang ia sedang bangun hadir bukan untuk menyaingi marketplace.
Kyungmin mengatakan, marketplace merupakan entry point terbaik bagi para pebisnis yang baru akan merambah dunia e-commerce. Platform seperti Tokopedia dan Shopee memiliki basis pengguna yang sangat besar dan kehadirannya sudah diterima oleh khalayak luas sehingga pelanggan merasa familier dan percaya.
“Namun, sebaiknya merchant tidak menjadikan marketplace sebagai saluran penjualan tunggal jika mereka ingin berkembang secara berkelanjutan,” tutup Kyungmin.