Tren Eco Tourism Tumbuh, Tapi Jangan Lupa Tujuan Utamanya

marketeers article
Munduk, Bali. Surrounded by dense jungle vegetation on all sides are bright green terraces to cultivate rice

Berdasarkan analisis Passenger Exit Survey Kementerian Pariwisata menyebutkan bila 35% wisman yang datang ingin menikmati keindahan nature atau berwisata alam. Dalam wisata alam ini terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan minat wisman, yakni marine tourism menyedot 35%, eco tourism (45%), dan  adventure tourism (20%).

Beberapa tahun terakhir, seiring dengan perkembangan media sosial, wisata alam semakin digandrungi wisnus, terutama oleh para millienial. Bisa dikatakan kaum millenial yang suka traveling menjadi pendorong tumbuhnya wisata alam ini. Apalagi, di antara traveler millenial ada semacam adu cepat siapa yang bisa mengunggah keindahan-keindahan alam yang belum terkenal atau bahkan belum tersentuh wisatawan. Semakin orisinal suatu destinasi, semakin dipuji si traveler tersebut.

Hanya saja, model berwisata seperti itu membuat wisatawan hanya menjadi penikmat keindahan alam saja. Memang, setelah ramai di media sosial ada kemungkinan bisa membuat suatu destinasi menjadi ramai dan uang mengalir. Tapi, berpotensi pula menjadi ancaman bagi destinasi tersebut.

Jadi, bila Anda adalah seorang traveler mulailah berwisata dengan bertanggung-jawab. Melakukan perjalanan wisata yang bertanggung-jawab ini merupakan inti dari eco tourism. Secara utuh, definisi dari eco tourism adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial-budaya etnis setempat, dan wisatawan yang melakukannya ikut membina kelestarian lingkungan alam di sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal.

Tentunya, untuk menggaungkan eco tourism yang dibutuhkan bukan sekadar selfie di destinasi-destinasi seksi. Lebih dari itu, perlu menyajikan konten yang lebih mendalam lagi tentang aktivitas-aktivitas yang bisa wisatawan lakukan di suatu destinasi.

“Cara mengenalkan suatu destinasi pada umumnya sama, hanya untuk eco tourism penekanannya pada konten yang disajikan. Misalnya, untuk destinasi wisata konvensional menonjolkan keindahan alam saja, maka dalam eco tourism kontennya berisi tentang aktivitas apa saja yang akan dirasakan dan apa kontribusi dari wisatawan pada alam, budaya, dan lingkungan setempat,” kata Ary S. Suhandi, Chairman Indonesian Ecotourism Network (Indecon) sebuah organisasi yang sudah puluhan tahun mengampanyekan dan menjadi praktisi dalam eco tourism.

Menurut Ary, upaya mengenalkan eco tourism sudah berjalan dan berada di jalur yang tepat sebelum era media sosial. Namun, di era media sosial ini, upaya promosi eco tourism tenggelam atau tergilas oleh konten-konten yang hanya menampilkan keindahan destinasi.

Meski begitu, eco tourism masih bisa tumbuh karena sudah memiliki segmentasi pasar sendiri. Segmen terbesar dari eco tourism adalah wisman, terutama dari negara-negara Barat. Sedangkan pertumbuhan wisnus trennya terus meningkat dari tahun ke tahun. “Di jaringan kami sejauh ini masih bisa tumbuh, seperti di Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna di Malang. Padahal, menerapkan sistem reservasi,” tambahnya.

Ia menambahkan, eco tourism itu menawarkan pengalaman berwisata sambil berkontribusi pada upaya perbaikan dan bertanggung jawab pada kawasan yang mereka kunjungi. Poin utama dalam eco tourism adalah interaksi, yakni bagaimana wisatawan berinteraksi dengan alam dan masyarakat lokal sebagai tuan rumah.  Misalnya, terkait budaya, eco tourism bukan hanya menjual keindahan tari-tarian, tapi bagaimana wisatawan terlibat dalam melestarikan tarian tersebut, baik itu lewat belajar atau terlibat dalam persiapan suatu pentas.

Ajakan untuk melakukan wisata alam yang bertanggung jawab ini bukanlah tujuan akhir. Tujuan selanjutnya adalah membangun kesadaran pada wisatawan untuk selalu berpikir apa yang bisa mereka perbuat untuk alam ketika melakukan

    Related