Beberapa waktu terakhir, suara pemberdayaan perempuan (women empowerment) gencar digaungkan di berbagai belahan dunia. Label pemberdayaan perempuan pun kian dilirik sebagai strategi pemasaran. Tak selalu efektif, cara ini sebenarnya terbilang “tricky.” Salah memilih isi komunikasi yang tepat, strategi ini justru dapat menuai kritik bagi brand tersebut.
Sejumlah brand telah mencoba memanfaatkan momen ini melalui strategi pemasaran “women empowerment”. Konten komunikasi yang digunakan pun cukup beragam. Sebut saja produsen kripik Stacy’s Pita Chips dan Western Union yang memilih mengkomunikasikan dukungan pada pemberdayaan perempuan melalui desain kemasan mereka.
Cara lain dipilih brand makanan cepat saji McDonald’s yang membalik logo khas “M” mereka menjadi “W”. Tak ada konten berupa kalimat atau slogan tertentu, McDonald’s hanya memilih logo sebagai bentuk pemasaran women empowerment mereka. Sayangnya, cara ini justru menuai kritik.
Photo Credits: Cover of a McDonald’s profile on Twitter
Banyak pihak yang menyarankan McDonald’s untuk mengurus persoalan kesejahteraan karyawan mereka lebih dulu. Isu tuntutan kesejahteraan yang lebih layak bagi karyawan McDonald’s di wilayah Amerika Serikat dan sekitarnya memang tengah menyeruak beberapa waktu lalu. Para pekerja menuntut McDonald’s untuk membayar lebih layak upah kerja mereka.
“Jika mereka benar-benar peduli dengan perempuan, mereka akan membayar upah pekerja mereka dengan layak dan berhenti melakukan kontrak tanpa jam,” ungkap Laura Parker, Momentum’s National Coordinator dalam theguardian.com.
Di sisi lain, kompetitor McDonald’s, KFC Malaysia turut ambil bagian dalam momen pemberdayaan perempuan. Agensi pemasaran KFC menampilkan sosok Colonel Sanders menjadi seorang perempuan yang disinyalir sebagai Claudia Sanders, istri kedua Colonel.
Photo Credits: USA TodayLagi-lagi, hal ini menuai kritik. Pasalnya, putri Colonel Sanders dalam biografi ayahnya menulis, Claudia pertama kali dipekerjakan untuk membantu istri pertama Colonel untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Netizen pun kembali beraksi, dan agensi periklanan tersebut dianggap tidak memahami sejarah dengan baik.
Buah Konsistensi
Meski tricky, tak berarti strategi pemasaran ini selalu membuahkan kritik semata. Dove yang telah konsisten mendukung women empowerment sejak awal 1990-an telah memetik hasil dari konsistensi ini.
Photo Credits: Dove50thPopularitas Dove meningkat sejak mereka memutuskan untuk membangun branding yang terfokus pada pemberdayaan perempuan. Di awal tindakan ini, Dove meraup keuntungan mencapai $200 juta atau setara dengan $4 miliar saat ini.
Cara ini terhitung efektif bagi Dove. Nyatanya, hingga saat ini mereka tetap setia pada bentuk pemasaran women empowerment. Berbagai bentuk campaign terus diinovasi, seperti Dove Campaign for Real Beauty, Dove ‘Ad Makeover’, dan Dove Movement for Self-Esteem.
Tapi, bukan berarti Dove luput dari blunder. Tahun 2017 lalu, Dove melakukan blunder melalui materi iklan mereka di Facebook. Dalam materi iklan singkat dengan durasi kurang dari enam detik, Dove memunculkan sosok wanita kulit hitam yang berganti pakaian dan berubah menjadi wanita kulit putih. Sontak materi iklan memunculkan kontroversi global dengan menganggap materi iklan tersebut berisikan rasisme dan muncul gerakan untuk memboikot produk Dove.
Pada akhirnya, brand harus memahami bahwa konsumen saat ini sudah cerdas. Mereka tidak begitu saja menerima konten yang diberikan brand. Brand pun tidak dapat memanfaatkan sebuah momen secara cuma-cuma. Sebelum menyuarakan pemasaran women empowerment, brand harus memastikan mereka telah memberikan kesetaraan gender di perusahaan mereka sendiri.
Jadi, apakah Anda tertarik untuk menggunakan jenis pemasaran ini? Berhati-hatilah agar tidak blunder.
Editor: Eko Adiwaluyo