Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat terus mengalami penurunan pengunjung yang sangat signifikan sehingga mengancam keberlanjutan bisnis pedagang. Hal ini ditengarai akibat maraknya perdagangan secara online yang diperburuk dengan gempuran produk-produk impor dengan harga murah.
Abdullah Mansuri, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menturkan fenomena tersebut sangat mengancam kelanjutan hidup pasar tradisional di seluruh Indonesia yang memiliki 12,5 juta pedagang. Untuk itu, para pedagang mendesak pemerintah untuk tidak tinggal diam dan lebih berpihak pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) yang memberikan banyak serapan pekerja.
BACA JUGA: Teten Masduki: 56% Pendapatan Pasar E-commerce RI Dikuasai Asing
“Kami menawarkan solusi apa sebenarnya yang harus dilakukan, karena pada prinsipnya kami melihat pemerintah belum banyak memberikan perlindungan terhadap pedagang dan UMM. Pedagang pasar tradisional tidak terlindungi karena tidak mendapatkan pendampingan dalam memproses modernisasi ini mereka kalah bersaing dengan pedagang online,” kata Abdullah melalui keterangannya, Kamis (21/9/2023).
Menurutnya, ada beberapa solusi yang bisa menjembatani kepentingan pedagang pasar dengan pedagang online. Hal yang harus dilakukan pertama kali oleh pemerintah, yakni harus mendampingi dan mengadvokasi masyarakat atau pedagang untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
BACA JUGA: Dugaan Teten Masduki soal Sepinya Pasar Tanah Abang
Cara tersebut dilakukan dengan menjalin kerja sama platform e-commerce atau media sosial untuk membangun algoritma dengan memprioritaskan pelaku UMKM yang menjual produk dalam negeri. Kemudian, pemerintah perlu membatasi dan melakukan kurasi produk-produk yang diizinkan berjualan secara online agar tidak merusak harga.
Aturan tersebut terutama diberlakukan pada produk-produk impor dengan harga murah. Tujuannya agar produk lokal bisa bertahan dan bersaing.
Dari sisi permodalan, pemerintah juga harus memberikan kemudahan bagi pelaku UKM melalui perbankan. Hal ini kemudian dikombinasikan dengan pemberian pelatihan dan pengembangan produk secara masif.
“Perbedaannya kita jual dengan harga yang murah, tapi karena produksinya sedikit sehingga beban operasionalnya besar. Kalau produksinya besar seperti di Cina, produksinya secara massal dan massif maka ongkos produksinya juga akan semakin kecil,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menduga sepinya pasar Tanah Abang terjadi lantaran maraknya produk impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Kondisi tersebut diperburuk dengan ketatnya persaingan di bisnis dalam penjualan online.
Teten mengatakan untuk mengatasi permasalahan itu, perlu adanya perlindungan terhadap ekonomi domestik termasuk bagi para pelaku UKM melalui keberpihakan regulasi di bidang transformasi digital. Termasuk pula kebijakan investasi, kebijakan perdagangan, dan kebijakan persaingan usaha.
Teten menyebut pasar Tanah Abang pernah menjadi pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara. Namun, di era digital, pasar yang telah ada sejak tahun 1735 itu, para pedagangnya, mengalami tantangan berat dalam hal perubahan perilaku pasar dari offline ke online dan serbuan produk asing.
“Jadi isunya bukan pedagang offline kalah dengan mereka yang online, namun bagaimana UKM yang sudah go online harus memiliki daya saing dan mendorong produk lokal untuk tumbuh dan berkembang,” kata dia.
Editor: Ranto Rajagukguk