Pada Desember 2017, Presiden Amerika Donald Trump melarang penggunaan produk antivirus Kaspersky di seluruh jajaran lembaga pemerintahannya karena diduga menjadi alat mata-mata Pemerintah Rusia. Alasan itulah yang membuat Kaspersky melakukan agenda besar untuk mengembalikan reputasinya kepada publik dunia. Bukan tidak mungkin, hal itu dapat memberikan dampak besar bagi eksistensi Kaspersky di seluruh dunia.
Pasalnya, salah satu jaringan ritel terbesar Paman Sam BestBuy telah melarang penggunaan Kaspersky. Begitupun dengan Twitter yang tidak mau menayangkan iklan antivirus itu di paltformnya. Bak gayung bersambut, salah satu bank terbesar di Inggris, Barcklay juga melarang penggunaan Kaspersky di rantai organisasinya.
Global Transparancy Initiative pun dilakukan Kaspersky sebagai langkah menghadapi krisis sekaligus mengembalikan lagi kepercayaan konsumen. Perusahaan yang didirikan Eugene Kaspersky ini bahkan memindahkan pusat data dan risetnya ke Zurich, Swiss dari Moscow, Rusia hingga seluruhnya rampung pada tahun 2020. Biaya yang dikucurkan pun cukup merogoh kocek, mencapai US$ 12 juta.
Asia Tenggara menjadi ladang edukasi bagi Kaspersky. Sebab, kawasan ini bisa dibilang relatif lebih aman dari gosip-gosip yang beredar di Amerika dan Eropa. Apalagi, kawasan ini cukup prospektif. Pada tahun 2017, pertumbuhan pasar Kaspersky di Asia Tenggara mencapai 12%, sejalan dengan pertumbuhannya di Asia Pasifik yang mencapai 11%.
Ketimbang pengaruh AS cepat menjalar ke negara-negara ASEAN, Kaspersky langsung tancap gas untuk melakukan “tur” edukasi terkait inisiatifnya itu. Apalagi, Indonesia sebagai salah satu market besar di kawasan ini berada di posisi ke-27 sebagai negara yang paling rentan diretas oleh penjahat siber.
General Manager for Kaspersky Southeast Asia (SEA) Yeo Siang Tiong mencoba menjelaskan apa yang terjadi di landskap global terkait isu cybersecurity. Balkanisasi dan protektisme adalah dua hal yang membuat mengapa keamanan global tengah mengalami kerentanan.
Ini tak lain dan tak bukan karena pesatnya bisnis teknologi informasi dan komunikasi yang membuat negara-negara dunia tersadar akan perlunya aturan untuk perkembangan dunia digital bagi negerinya. Dimulai dari peraturan untuk mengendalikan Digital War di dunia bisnis agar perang tidak hanya menyisakan satu entitas produsen dan mengorbankan konsumen.
Saat ini, negara-negara di dunia mulai berupaya membangun pertahanan digitalnya dalam bidang sosial-politik. Timbullah istilah balkanisasi Internet yang dilakukan Rusia, China, dan Brazil dimana negara mengatur ketat arus intenret di negerinya masing-masing.
Justru, itu yang menurut Yeo Siang membahayakan dunia siber internasional. Meunut pembelaan Kaspersky, Balkanisasi Internet tidak menguntungkan siapa pun kecuali para penjahat dunia maya. “Mengurangi kerja sama antar negara malah membantu orang-orang jahat untuk beroperasi. Selain itu, kemitraan publik-swasta tidak berjalan seperti seharusnya karena mereka saling menutup diri,” papar Yeo di Le Meridien Jakarta, Selasa, (12/8/2018) dalam turnya di Indonesia.
Tak heran, beberapa negara, khususnya negara kuat mulai memiliki aramda militer siber atau cyberarmy untuk memerangi kejahatan siber di negaranya. Yang terjadi, kata Yeo, krisis kepercayaan mencuat akibat dari kebocoran data antarpihak, antarnegara. “Ujungnya, ini akan menjadi perang dingin gaya baru,” papar Yeo.
Waktunya Transparansi
Meskipun menjadi “korban” ketegangan geopolitik AS-Rusia, tidak ada perusahaan yang mampu mengendalikan isu perang dingin kejahatan siber. Kaspersky akhirnya berpikir untuk mampu membungkam pihak-pihak yang ragu lewat inisiatif transparansi yang mereka gagas.
Swiss dipilih sebagai pusat data Kaspersky karena negeri itu memiliki undang-undang kerahasiaan yang luar biasa. Undang-undang itu adalah “senjata” bagi klien perusahaan, karena bisa menjaga data mereka dari mata-mata.
Sebenarnya, laboratorium Kaspersky itu akan menguji produk-produk perusahaan, seperti software antivirusnya. Ini dimaksudkan agar produk itu telah terverifikasi oleh pihak yang berwenang. Kaspersky akan mengudang empat konsultan independen global untuk mengujinya. “Produk yang dibuat sudah tidak bisa diubah-ubah lagi untuk bisa disisipi oleh hacker,” papar dia.
Saat ditanya mengapa Kaspersky mau begerak sendiri, Yeo mengungkapkan bahwa ide itu pertama kali muncul dari Kaspersky dan bukan dari perusahaan software lain. Apalagi, transparansi dan security dinilai bertolak belakang dalam dunia siber.
“Itulah mengapa perusahaan lain sulit untuk mengarah kepada transparansi. Mereka takut rahasianya terbongkar. Sedangkan kami berani mengambil langkah itu,” tegas Yeo.
Editor: Sigit Kurniawan