Orang pergi ke Twitter untuk melihat apa yang terjadi saat ini di seluruh dunia. Tak heran, fungsinya masih tetap relevan oleh brand yang ingin membuat kampanye pemasaran dengan memanfaatkan momentum yang ada.
“Uniknya, ketika ada platform media sosial lain sedang down, orang verifikasinya melalui Twitter,” kata Country Industry Head Twitter Indonesia & Malaysia Dwi Adriansah saat ditemui Marketeers di kantornya di Pacific Place, Jakarta.
Dwi menuturkan, yang membedakan platform Twitter dengan media sosial lain adalah kedekatan yang bisa dibangun antara brand dengan pelanggannya. Di Twitter, orang menganggap mereka bisa berbicara langsung dengan pelanggan.
“Sederhananya, orang ke Twitter, tanya ke brand, pasti dijawab,” ucap dia seraya mengatakan bahwa hampir semua brand menggunakan Twitter untuk berkomunikasi langsung dengan pelanggan.
Tak heran, banyak perusahaan seperti telko dan perbankan yang memanfaatkan sifat kedekatan Twitter untuk membangun customer service atau customer care mereka. Apalagi. Temuan McKinsey menyebut, cost per social interaction di Twitter jauh lebih murah atau sekitar US$ 1.
Lebih lanjut, riset yang dilakukan Twitter bersama Applied Marketing Science tahun 2015 menemukan bahwa semakin cepat brand menjawab tweet pelanggan, ada opportunity sales yang bisa dilakukan oleh pelanggan tersebut.
“Di industri penerbangan mislanya, jika brand berhasil menjawab dan memberikan solusi atas komplain pelanggan di Twitter kurang dari enam menit, mereka bisa upselling produk mereka ke pelanggan sebanyak US$ 20,” terang Dwi.
Mantan Programmer HardRock FM ini bilang, alasan brand menggunakan Twitter dalam kampanye marketing adalah karena platform ini mampu memanfaatkan moment yang terjadi saat itu. Hal ini salah satunya dilakukan oleh operator AXIS ketika pemerintah mendorong masyarakat untuk melakukan registrasi ulang kartu prabayar.
Semua operator saat itu tak ingin kehilangan pelanggannya. Karenanya, AXIS meluncurkan kampanye #GakMauUdahan. Lewat fitur Direct Message (DM) di Twitter, pelanggan AXIS bisa melakukan registrasi ulang ke brand secara langsung.
Hal yang sama juga dilakukan oleh TapCash, dompet digital dari BNI. Kala itu, pemerintah mewajibkan seluruh pembayaran tol menggunakan uang digital.
“Awareness TapCash masih sangat rendah dibandingkan e-Money dan Flazz. Mereka mengambil momen tersebut untuk meningkat conversation mengenai TapCash untuk digunakan sebagai alat pembayaran di tol,” terang Dwi.
Banyaknya conversation yang terjadi di jagad per-Twitter-an menjadi salah satu KPI yang ingin dicapai oleh brand. Ada beberapa fitur yang bisa digunakan di Twitter, salah satunya Conversational Ads, di mana brand membuat tweet dengan berbagai pilihan maksimum empat. Followers didorong untuk memilik salah satu dari pilihan itu.
Setiap satu klik akan menghasilkan satu compose tweet (atau tweet baru) yang juga menampilkan pilihan-pilihan tersebut dan tayang di lini masa si followers.
Nah, followers dari followers itu bisa melakukan hal serupa, sehingga melahirkan kumulatif tweet yang menciptakan conversation. Cara ini pernah dilakukan Head&Shoulder ketika derby Barcelona vs Real Madrid tengah berlangsung.
Selain itu, ada pula fitur Auto responder, di mana followers yang menggunakan hashtag tertentu akan dikirimkan jawaban otomatis sesuai dengan isi cuitan mereka. Cara ini pernah digunakan Danone Aqua dalam kampanye #AdaAqua, yang mana pengikut yang mencuit dengan tagar #bete misalnya, akan dikirimkan gif emoji sang bintang iklan Dian Sastro.
Salah satu fitur yang tengah diunggulkan Twitter adalah Live Video. Beberapa brand melakukan kampanye menggunakan video untuk dapat berbicara langsung dengan konsumennya. Ini pernah dilakukan Pond’s ketika memvideokan secara langsung acara talkshow bersama beauty vlogger di ajang BeautyFest. Hanya dari Twitter saja, penonton acara bincang live itu mampu menembus 2 juta orang.
“Beberapa brand datang ke Twitter untuk contextual reach. Twitter dibangun dari interest, bukan semata dia teman saya, maka saya follow. Di Twitter, mereka belum tentu saling kenal. Tetapi mereka bisa saling follow karena memiliki interest yang sama. Itulah bedanya Twitter dengan platform lain,” tutur Dwi.