Sudah lama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memanfaatkan Twitter untuk mendukung jalannya pemerintahannya. Baginya, Twitter membantunya untuk terhubung dengan warga Jawa Tengah yang tidak semua bisa ditemui dengan tatap muka.
“Tentu, dengan 35 juta penduduk Jawa Tengah di 35 kabupaten kota itu jumlah yang besar sekali. Dan, ketika mereka harus dekat dan menyampaikan persoalan kepada gubernurnya dan budaya transparan yang sedang dikembangkan, caranya komprehensifnya hanya dengan teknologi,” ujar Ganjar. (Baca juga “Bisakah Negara Hadir untuk Warganya di Media Sosial?”)
Twitter ini juga membantu pemerintah untuk mengontrol apakah program untuk masyarakat sudah dijalankan atau tidak. Misalnya, program kredit tanpa agunan dengan bantuan Bank Jateng. Saat dirilis pertama, warga sangat antusias mendatangi cabang-cabang. Di cabang, mereka merasa tidak dilayani karena pihak cabang merasa belum menerima perintah. “Dengan ini, kami bisa tahu apakah program sudah tersosialisasi sampai tingkat bawah atau belum dan ini menjadi bahan evaluasi,” kata Ganjar.
Warga juga bisa melaporkan praktik-praktik lapangan yang tidak baik. Ganjar bercerita, pernah ada warga yang merekam aksi pungutan liar dan mempublikasikan di Twitter dengan mention ke akunnya.
“Karena laporan ini, saya langsung copot oknum terkait keesokan harinya. Jadi, penjaga values pemerintahan seperti itu, menurut saya, kami merasa sangat terbantu oleh rakyat secara langsung tanpa basa-basi,” katanya.
Tentunya, tidak semua informasi yang disampaikan ke akun pemerintah benar adanya. Yang dilakukan oleh Ganjar menerapkan sistem klarifikasi dan verifikasi. Untuk informasi yang tidak jelas, Ganjar selalu menanyakan informasi lebih detailnya.
“Biasanya, saya selalu respons mention-mention ke saya, termasuk yang mungkin menjadi akun-akun anonim. Dalam prosesnya, saya selalu memverifikasi profil orang yang mention dan maksudnya. Tetapi, kalau gelagatnya memang tidak baik, akan tidak saya gubris lagi,” kata Ganjar.
Uniknya, banyak warga di berbagai kabupaten langsung mengeluh soal persoalan di daerahnya langsung ke gubernur dan bukan ke bupatinya masing-masing. Ganjar menambahkan, ternyata warga Jawa Tengah lebih mudah berkomunikasi dengan gubernurnya melalui Twitter daripada berkomunikasi dengan bupati dan walikotanya.
Meski banyak respons, Ganjar mengaku mengelola akun Twitternya sendiri. Respons dijawab sambil melihat sela waktu kesibukannya. “Ada yang bilang kerja atau twitteran. Lha, saya ngetweet ini dalam rangka urusan kerjaan,” katanya berlanjut terkekeh.
Sekian lama mengelola Twitter, tentunya Ganjar menemui pengalaman yang sangat kaya – dari di-bully di Twitter hingga menolong orang miskin yang kesusahan berobat. Tidak semua kicauan ditanggapi dengan bahasa serius. Ganjar mencoba berkomunikasi secara personal dan seluwes mungkin dengan warga. Bahkan, sesekali komunikasi itu diwarnai dengan humor-humor kecil yang bisa membangun suasana akrab di linimasa.
Ditanya soal semangat bertwitter, Ganjar menjawab yang pertama-tama harus dibangun adalah sikap ikhlas. Kalau dirinya menjadi pemimpin yang ikhlas, sambung Ganjar, semua yang dilakukan dan diperbincangkan pasti dilakukan dengan ikhlas.
“Bila saya ikhlas, berkomunikasi dengan semua rakyat saya merupakan hal yang membahagiakan dan tidak pernah menjadi beban. Sekali-kali ada haters dan membuat hati dongkol, anggap saja itu sebagai bagaian dari dinamika,” katanya.
Di sisi lain, sambung Ganjar, ini merupakan bentuk konsistensi komunikasi dengan rakyat dalam wujud saluran aspirasi dalam bentuk teknologi. Ganjar selalu menekankan, persoalan warga bisa diselesaikan tanpa warga harus bertemu langsung dengan dirinya. Ruang, waktu, dan jarak bisa dipangkas dengan teknologi sehingga proses layanan publik menjadi lebih ekonomis, praktis, dan efisien.
“Ketika saya bisa menyelesaikan persoalan rakyat saya, inilah momentum yang paling membahagiakan bagi saya. Semua itu berkat teknologi. Dan, warga bisa merasakan bahwa negara dan pemerintah hadir untuk rakyatnya,” pungkas Ganjar.