Beberapa bulan lagi, Indonesia bersama negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki era pasar bebas ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kehadiran MEA ini, nyatanya membuat takut pelaku Usaha Kecil Menengah atau Small Business Entrepreneurs (SME), tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara ASEAN lainnya.
Dengan diberlakukannya MEA, negara ASEAN akan mengalami aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja, dari dan ke masing-masing negara. Kompetisi itulah yang dianggap sebagai ketakutan terbesar UKM dalam menghadapi MEA. Sejatinya, MEA adalah momentum bagi UKM untuk unjuk gigi dan mendorong perekonomian negara.
“UKM menjadi tulang punggung ekonomi ASEAN. Dalam lima tahun ke depan, 88%-99% ekonomi ASEAN ditopang dari sektor UKM. Kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto pun menapai 23% hingga 58%,” kata Yap Mew Sang, Pro Tempore Committe Chairman ICSB-ASEAN di acara 2015 ICSB ASEAN Initiative: Innovation & Globalization in Asia, di Philip Kotler Theater Class, Jakarta, Kamis, (13/8/2015).
Yap menjelaskan, penyerapan tenaga kerja di sektor UKM di kawasan ASEAN mencapai 51%-97%, dengan kontribusi ekspor sebesar 10%-30%. Ia juga menjelaskan, dengan diberlakukannya MEA pada 31 Desember nanti, ASEAN akan memiliki pangsa pasar sebesar 620 juta jiwa, dengan nilai perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Total PDB pun mencapai US$ 2 miliar dengan laju pertumbuhan majemuk 5%.
“MEA itu bertujuan membentuk basis manufaktur bersama untuk pasar yang tunggal. Semua negara, baik dari Eropa, Amerika, Tiongkok, maupun Timur Tengah ingin memanfaatkan pasar ASEAN. Sebelum itu, kita mesti bergandeng tangan untuk menjadikan UKM ASEAN berdaya saing dan siap menghadapi MEA,” terang Yap.
Ada berbagai tantangan dalam MEA yang mesti dihadapi pelaku UKM. Salah satu tantangan terbesar menyangkut konektivitas, baik berupa jaringan, institusional (berupa kebijakan), serta konektivitas dari UKM ke UKM “Pelaku UKM harus tumbuh dan berkembang. Mereka harus inovatif dan memiliki pengetahuan kewirausahawan,” paparnya.
Tantangan lainnya, sambung Yap, akses UKM ke Teknologi Informasi, seperti e-commerce masih tergolong minim. Bahkan, ia menyebut, 50% UKM di ASEAN masih 'buta' digital. Selain itu, bahasa juga menjadi penghalang. Sebagian besar penduduk ASEAN tidak fasih berbahasa Inggris.
Berbagai tantangan itu menjadi kesempatan bagi UKM yang tergabung dalam International Council for Small Business (ICBS) – ASEAN untuk mengubah paradigma tersebut. Organisasi yang merupakan konsul kawasan Asia Tenggara dari ICSB ini, berfokus pada pemberdayan UKM di ASEAN. Organisasi ini telah memiliki berbagai anggota, termasuk Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
ICSB-ASEAN memberikan value dan manfaat bagi para anggota untuk memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan MEA. Pihaknya berencana menciptakan platform regional untuk memfasilitasi UKM ASEAN agar terkonek satu sama lain, demi menciptakan peluang kolaborasi dan bisnis.
“Kami fokus menghubungkan antar UKM di ASEAN, menjembatani problem digital dan bahasa mereka. Misalnya, kami mengadakan pelatihan dan program seputar inovasi, teknologi, dan entrepreneurship untuk mendorong kemajuan para anggota,” katanya.
Pertemuan rutin yang terencana pun akan diadakan secara bergilir di setiap anggota ICSB-ASEAN. Tujuannya, lanjut Yap untuk menjalin kemitraan, networking, pertukaren ide, dan brainstorming “Tanpa pertemuan fisik, semua tujuan dan mimpi itu sulit tercapai,” ujar Yap.
ICSB-ASEAN juga melakukan mega sinergi di sektor pendidikan, khususnya dalam melakukan riset dan pengembangan, serta membangun pusat pendidikan dan pertukaran beasiswa. Organisasi ini turut menciptakan platform digital yang berisikan program dan kursus Bahasa Inggris demi meningkatkan komunikasi antar sesama UKM di ASEAN.
“Dan yang juga penting, produk dan servis yang diawarkan UKM harus bersifat glocalized. Diterima secara lokal dan juga global,” tutupnya.