Sampah masih menjadi permasalahan besar di industri. Studi Sustainable Waste Indonesia pada tahun 2020 mengungkapkan dari 189.349 ton sampah plastik rata-rata per bulan yang dihasilkan di Pulau Jawa, hanya 11,83% yang dikumpulkan untuk diolah kembali. Sisanya, sekitar 88% berakhir di tempat pembuangan akhir atau tidak terangkut. Akhirnya, sampah masih menjadi masalah pencemaran lingkungan terbesar.
Padahal, sampah jika diolah lebih lanjut bisa mendukung perekonomian. Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah Direktorat Jenderal PSLB3 KLHK mengatakan pandemi berhasil memperlihatkan potensi ini. Laporan BPS menunjukkan sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, dan limbah merupakan tiga dari tujuh sektor yang tumbuh positif. Hingga 6,04% sepanjang tahun 2020.
“Catatan ini memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah merupakan sektor usaha yang tumbuh terus. Pemerintah pun mengusung tema Sampah Bahan Baku Ekonomi di Masa Pademi pada perayaan Hari Sampah Nasional 2021 untuk mendorong kolaborasi penuh pada pelaku rantal nilai sampah dengan tujuan membentuk ekonomi sirkular yang semakin kuat,” ujarnya.
Kolaborasi dinilai sebagai strategi paling tepat untuk menciptakan ekonomi sirkular. Hal ini disebabkan oleh proses sampah yang melewati sejumlah fase dalam perjalanannya menuju TPA. Mulai dari berbentuk produk hingga sampah yang dibuang. Novrizal menegaskan bahwa kolaborasi ini harus dimulai dari hulu (pelaku industri) hingga ke hilir (para pemulung).
Studi yang dilakukan oleh Unilever dan SWI tahun lalu mengungkapkan peran pemulung yang sangat besar terhadap terciptanya ekonomi sirkular. Lebih dari 80% sampah plastik yang terkumpul di Pulau Jawa dikumpulkan oleh pemulung. Sementara itu, bank sampak mulai menunjukkan kontribusinya dengan menyumbangkan 20% sampah plastik yang dapat diolah kembali.
Sayangnya, peran besar ini masih dipandang sebelah mata. Pemulung justru kerap dipandang sebagai sumber penyakit oleh masyarakat. Padahal, kenyataanya sebaliknya. Para pemulung ini justru menjaga kesehatan lingkungan dengan mengumpulkan sampah di sekitar tiap hari.
“Untuk itu, Unilever mulai bergerak ke arah layer paling bawah di rantai ekonomi sirkular, yaitu para pemulung. Kontribusi mereka terhadap industri ini sangat besar, namun masih memiliki akses yang kecil untuk mendapatkan keuntungan besar dan kesejahteraan,” kata Nurdiana Darus, Head of Corporate Affairs and Sustainability PT Unilever Indonesia.
Masih dalam perayaan Hari Peduli Sampah Nasional sekaligus menciptakan ekonomi sirkular yang berkelanjutan, Unilever menggandeng Perkumpulan Pemulung Indonesia Mandiri (PPIM) untuk menciptakan ekosistem pemulung yang lebih baik. Dalam kerja sama ini, Unilever dan PPIM akan mengedukasi para pemulung mengenai pemberdayaan masayrakat, literasi keuangan, keterampilan berkomunikasi, hingga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
“Kami menargetkan 3.000 pemulung diedukasi. Kerja sama ini merupakan kelanjutan dari program penyerahan sarana mesin penekan sampah plastik yang berhasil meningkatkan nilai ekonomi sampah plastik para pemulung di PPIM. Lewat edukasi, tidak hanya pengetahuan, pemberdayaan, dan kesejahteraan, tapi stigma mengenai pemulung juga akan terhapuskan,” tutup Nurdiana.
Hingga tahun 2020, Unilever dan mitra ekonomi sirkularnya telah mencatat pengumpulan dan pemrosesan lebih dari 13.000 ton sampah plastik di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu masih jauh dari jumlah sampah yang mencemari lingkungan. Namun, dengan kolaborasi semua pihak, permasalahan sampah akan terselesaikan dan ekonomi sirkular dapat membentuk ekosistem industri yang sehat dan berkelanjutan.
Editor: Sigit Kurniawan