Dalam menyelenggarakan kampanye pemasaran, Deddy Avianto sebagai seorang yang telah berkecimpung di dunia media sosial, lebih memilih untuk berkolaborasi dengan influencer media sosial dibandingkan dengan artis. Menurutnya, selain mahal, artis biasanya hanya melakukan komunikasi satu arah. Mereka pun tidak punya banyak waktu untuk merespons audiens.
“Jadi, lebih baik mengajak yang biasa-biasa saja tapi mereka saling ngobrol. Lagipula, sense of belonging influencer lebih tinggi dibanding artis,” tambahnya.
Dengan menggaet influencer, sambungnya, ia bisa sembari mengedukasi mereka dalam berakting, fotografi, dan videografi. “Kami punya grup WhatsApp untuk saling berbagi. Biasanya kami berbagi bagaimana cara membuat konten. Dari influencer yang hanya bisa nge-tweet, kini mereka mulai membuat vlog. Ini salah satu bentuk pemberdayaan juga,” katanya.
Dalam sebuah kampanye, Deddy selalu melibatkan 10-20 influencer. Untuk menghidupkan kampanye itu, Deddy memiliki strategi khusus yang diterapkannya selama ini. Strateginya adalah mengarahkan para influencer untuk mengobrol, bukan masing-masing sibuk nge-tweet.
Jadi, Deddy telah mengatur jatah nge-tweet mereka, misal hari itu lima influencer. Kemudian, Deddy mengatur siapa yang melempar topik, lalu siapa yang nyaut-nyautin. “Agar efek bola salju bekerja, biasanya yang memulai itu yang memiliki follower yang sedikit. Lalu, influencer yang follower-nya banyak akan menyaut. Begitu, seterusnya,” tambahnya.
Dengan cara seperti itu, orang akan lebih percaya. Orang yang membaca tweet yang dikenal sebagai buzzer tentu akan menganggap itu iklan. Kalau follower-nya sedikit, orang-orang akan penasaran dan akan lebih percaya. Sebab itu, Deddy tak ragu mengajak influencer yang follower-nya masih ratusan selama mereka mempunyai latar belakang yang sesuai dengan tema kampanye yang akan dibawakan.
“Ada merek yang meminta spesifik kampanye di Path. Walaupun Path cakupannya kecil, tapi memang lebih powerful karena mereka merasa dekat dengan teman-teman,” katanya.
Editor: Sigit Kurniawan