Startup gagal bukanlah sebuah dongeng. Ini adalah kenyataan pahit yang menjadi banal di ekosistem teknologi saat ini. Jika Forbes menyebut bahwa 90% startup gagal, mungkin ada benarnya. Namun, pertanyaan selanjutnya, bukan mengapa startup gagal, tapi bagaimana mereka bisa gagal.
Rafat Ali, CEO & Founder Skift, media online yang mengulas seputar dunia travel dan hotel mengungkapkan delapan hal yang mesti menjadi perhatian perusahaan, termasuk startup, memasuki era yang ia sebut sebagai “post-experience economy“. Dari delapan hal itu, ada dua yang bisa diresapi oleh pemain startup Tanah Air.
Pertama, yaitu poin kedua yang menyatakan “New add-ons and ancillaries can’t fix broken core services. Brands must first differentiate on quality of service, not technology tools or peripheral activities”.
Poin ini meng-highlight bahwa banyak startup terjebak dalam paradigma “high-tech” di dalam operasional bisnis mereka. Setiap startup merasa bahwa teknologi canggih adalah poin diferensiasi dibandingkan perusahaan lain. Saking fokus pada urusan teknis, sayangnya startup itu luput pada produk atau solusi yang mereka tawarkan ke user atau customer-nya.
Head of Commercial Airy Rooms Viko Gara sependapat dengan hal tersebut. Kepada Marketeers, ia mengaku pernah melihat problem ini di sejumlah startup di mana ia pernah menjadi mentor untuk program inkubasi The Next Dev besutan Telkomsel.
Misalnya, sambung dia, ada startup yang menawarkan layanan loyalitas pelanggan. Pada setiap kesempatan mereka memaparkan model bisnisnya, mereka kerap “menjual” marketing automation yang mereka gunakan pada aplikasi loyalty program-nya.
“Padahal, saya menantikan penjabaran solusi apa sih mereka tawarkan lewat aplikasinya itu? Mengapa orang harus memanfaatkan servis mereka? Jawaban itu justru tidak terucap dari para pendiri startup,” ujar Viko.
Viko mengutip sebuah anekdot yang bilang; “Orang nggak beli bor karena punya diameter selebar 1 cm. Tetapi, orang membeli bor karena mampu membuat lubang selebar 1 cm dengan presisi.”
Menurut dia, salah satu bagaimana startup gagal adalah mereka tidak aware dengan yang semestinya menjadi fokus pertama mereka; servis atau layanan berkualitas. “Technology is just a tool”, kata dia mengutip ucapan Bill Gates yang terkenal.
“The secret to selling technology: don’t talk about technology. Sebab, teknologi gak sama sekali bisa ngena ke emosi orang. Benefits sell, features don’t,” papar dia lagi.
Yang juga menjadi asal-muasal kegagalan startup tertuang dalam poin kedua presentasi Rafat Ali: “Challenger brands have the most to gain from this shift; they don’t have to fix what’s broken. New industry entrants with a premium quality of service will have an advantage against existing behemoths.
Viko berkomentar, startup kerap fokus untuk membenahi hal-hal yang selama ini salah, yang dilakukan oleh existing company. Jika startup itu bermental challenger brand, mereka tidak perlu menjadi 100% seperti apa yang dilakukan banyak perusahaan konvensional. “Sebagai startup, Anda dapat memilih posisi berdiri di industri yang Anda mainkan dan fokus memperjuangkan satu hal yang ideal bagi Anda ketimbang bermain di semua hal,” tutur dia
Kalau sudah begini, perusahaan memiliki identitas yang bahkan market leader tidak bisa dapatkan. Ia mencontohkan bagaimana Bodyshop hadir bukan untuk menjadi pesaing bagi Estee Lauder. “Tetapi mereka mau mengubah paradigma bawah kosmetik luxury pun bisa cruelty-free,” tegas dia.
Singkat kata, Viko berpesan bahwa jangan fokus pada hal-hal yang sebenarnya hanya sebatas pemanis. Kembalikanlah customer-centric pada titahnya yaitu pelanggan adalah pusat dari bisnis dan layanan yang Anda tawarkan.
“Jangan jadikan mereka hanya sebatas jargon. Jika startup lalai mengeksekusi dua poin di atas, it’s the first step for them to fail,” tutup dia.
Editor: Eko Adiwaluyo