Industri ritel kembali gempar pascakebangkrutan Forever 21 yang berujung pada penutupan sejumlah ritel fisik mereka. Peritel ini dikabarkan segera menutup 350 toko mereka di seluruh dunia.
Merek fast fashion asal California ini sempat menuai sukses besar awal tahun 2000-an. Forever 21 menjadi salah satu merek yang turut mempopulerkan fast fashion di Amerika Serikat. Namun, bisnis ritel berubah dengan cepat.
Ketika Forever 21 agresif mengekspansikan ritel offline mereka ke berbagai negara, merek ini seakan lalai akan perkembangan teknologi yang mengubah perilaku konsumen. Terlebih, konsumen muda.
“Dari tujuh negara, kami berekspansi ke 47 negara dalam jangka waktu kurang dari enam tahun karena itu muncul banyak kompleksitas. Pada saat yang sama, industri ritel jelas berubah. Trafik konsumen di mal berkurang, dan penjualan lebih banyak bergeser ke online,” ungkap Linda Chang, Chain’s Executive Vice President of Forever 21 dilansir dari The New York Times.
Forever 21 mengatakan, 16% penjualan mereka berasal dari e-commerce. Ini yang membuat pendapatan mereka turun dari US$ 4,4 miliar pada 2016 menjadi US$ 3,3 miliar tahun lalu.
Mencoba menyelamatkan bisnis mereka, Forever 21 memutuskan untuk tetap mengoperasikan penjualan melalui situs web. Termasuk, ratusan toko di Amerika Serikat di mana mereka menjadi penyewa utama bagi pemilik mal, Meksiko, dan Amerika Latin.
Melalui sebuah surat kepada para pelanggan yang dipublikasikan melalui website resmi mereka, Forever 21 meyakini, hal ini menjadi langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan jangka panjang bisnis mereka.
“Setelah reorganisasi ini rampung, Forever 21 akan menjadi perusahaan yang lebih kuat dan lebih layak dengan posisi yang lebih baik di tahun-tahun mendatang,” tulis Forever 21.
Reorganisasi ini diharapkan dapat membuat Forever 21 mencetak nilai penjualan tahunan mencapai US$ 2,5 miliar.
Editor: Sigit Kurniawan