Di era teknologi seperti sekarang, produk herbal masih menjadi pilihan bagi masyarakat. Hal ini tentu saja karena Indonesia memiliki bahan baku herbal yang melimpah serta warisan budaya yang sudah turun temurun.
Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia yang kaya dengan bahan baku obat-obatan berbahan alami.
Merujuk dari data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dari 30 ribu spesies tanaman yang berpotensi sebagai tanaman obat, setidaknya ada 7.500 jenis tanaman yang diketahui berkhasiat obat dengan 800 di antaranya menjadi bahan jamu.
Menyadari hal tersebut, anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menyampaikan, pengembangan inovasi dan teknologi di bidang obat herbal, terutama fitofarmaka harus berujung pada industrialisasi sehingga Indonesia bisa mengurangi bahkan lepas dari ketergantungan terhadap bahan baku obat yang saat ini 90% masih diimpor.
BACA JUGA Tahun 2023, Phapros Fokus ke Bisnis Alat Kesehatan Gigi dan Tulang
Jika industri farmasi berbasis fitofarmaka lokal dikembangkan, bukan hanya melepaskan diri dari ketergantungan impor bahan baku, namun Indonesia bisa menjadi salah satu eksportir obat herbal terbesar di dunia.
“Saat ini, Indonesia baru menguasai kurang dari 1% pasar herbal dunia, sehingga pendekatan industrialisasi fitofarmaka dan modernisasi pengolahan obat tradisional seperti jamu menjadi keharusan agar obat herbal Indonesia mampu bersaing di pasar global. Harapannya, industri ini bisa menciptakan lapangan kerja baik di sisi hulu, yaitu produsen tanaman dan bahan baku herbal, industri pengolahan, hingga pemasarannya,” tuturnya dalam laporan tertulis.
Amin menambahkan, Indonesia memerlukan fasilitas uji pra klinis dan uji klinis agar obat herbal Indonesia bisa diakui di pasar global. Fasilitas uji tersebut harus dikembangkan di berbagai daerah, tidak terpusat di Jakarta ataupun Jawa saja.
BACA JUGA Cara Phapros Keluar dari Jebakan Disrupsi
“BRIN bisa berkolaborasi baik dengan Perguruan Tinggi maupun kementerian teknis dan pemerintah daerah, baik dari sisi riset dan pengembangan maupun pengujian obat,” ujar Amin.
Senada dengan itu, PT Phapros Tbk sebagai perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia terus berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang terbuat dari bahan-bahan alami. Direktur Utama PT Phapros Tbk Hadi Kardoko mengungkapkan bahwa produk fitofarmaka dan turunannya merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia sejak dulu yang gemar meramu dan meracik bahan-bahan tradisional sebagai bagian dari upaya penyembuhan.
Dalam era industri seperti saat ini, teknologi pun mampu beradaptasi terhadap warisan lokal tersebut tanpa menghilangkan cita rasa aslinya. Hal ini pula yang diinisiasi oleh Phapros dengan mengembangkan produk fitofarmaka yang sejak dulu telah menjadi bagian dari warisan leluhur.
BACA JUGA Kemenperin Targetkan Subtitusi Impor Obat Sebesar 35% pada Tahun 2022
“Phapros telah lama mengembangkan dan memiliki produk fitofarmaka, bahkan menjadi salah satu inisiator produk fitofarmaka di kalangan industri farmasi di Indonesia. Obat tradisional sudah akrab dengan masyarakat Indonesia karena merupakan bagian dari warisan leluhur bangsa sejak ratusan tahun lalu, sehingga penetrasinya diharapkan lebih mudah,” ungkapnya.
Lebih dari itu, sebagai bagian dari Holding BUMN Farmasi, Phapros juga berkomitmen untuk memajukan industri obat tradisional dan herbal di Indonesia dengan terus berinovasi sehingga dapat diterima dengan baik oleh pasar lokal dan mancanegara.
Hadi menambahkan, produk fitofarmaka telah melewati proses penelitian yang panjang dan teruji secara klinis baik dari sisi khasiat maupun keamanan bagi penggunanya. “Saat ini Phapros telah memiliki dua produk fitofarmaka di Indonesia, yakni Tensigard untuk hipertensi dan X-Gra untuk stamina serta daya tahan tubuh. Kami berharap produk herbal kami yang lain ke depannya akan tumbuh dengan pesat dan semakin diterima oleh masyarakat,” ujarnya.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz