HRD Jalur Ordal tengah menjadi trending topic di platform X. Perbincangan mengenai hal ini bermula ketika muncul dugaan seorang konten kreator yang kerap membagikan tips rekrutmen, justru mendapat pekerjaan lewat “orang dalam.”
Tak sedikit warganet yang mempermasalahkan fenomena tersebut karena dianggap sebagai bentuk nepotisme. Memang pada beberapa kasus, metode referral merugikan orang lain yang benar-benar mengikuti proses rekrutmen dari awal.
Namun sejatinya, mendapat pekerjaan lewat koneksi bukanlah sesuatu yang menyalahi aturan. Sebagaimana dijelaskan laman Kita Lulus, kerja pakai orang dalam tidak melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 31.
BACA JUGA: Link Live Streaming Timnas Indonesia vs Turkmenistan Hari Ini
Malahan, sejumlah survei membuktikan bahwa generasi Z memiliki kecenderungan mendapat pekerjaan lewat orang dalam. Riset Applied (2023) membuktikan 75 persen generasi Z yang menganggap nepotisme “tidak adil” justru menggunakan hal itu untuk kemajuan karier mereka.
Sebanyak 68 persen di antaranya bahkan mengaku mendapat pekerjaan dari koneksi pribadi. “Bisnis saat ini mesti mulai mengubah proses perekrutannya. Tak hanya berfokus pada pengalaman bekerja kandidat,” jelas CEO Applied, Khyati Sundaram, dikutip Jumat (8/9/2023).
Temuan senada juga diungkapkan Zippia (2023). Menurut riset yang dilakukan di AS itu, sekitar 85 persen pekerjaan didapatkan melalui koneksi. Sebanyak 79 persen di antaranya bahkan mengaku networking berperan penting dalam kemajuan karier mereka.
BACA JUGA: Yellowcorn Hadirkan Diskon Produk Apparel di Ajang IMHAX 2023
Sejauh Mana Peran Ordal?
Sistem referral sendiri jelas memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung sejauh mana si orang dalam berperan. Di satu sisi, metode ini bisa mempercepat proses rekrutmen bagi perusahaan yang membutuhkan karyawan dalam jangka waktu dekat.
Melansir Kalibrr, sistem ini juga dianggap efektif dengan pertimbangan kualitas kandidat yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Informasi yang diterima tentang kandidat pun lebih kaya, sehingga perekrut semakin banyak memiliki bahan pertimbangan untuk merekrutnya aua tidak.
Di sisi lain, sistem referral akan menjadi ‘racun’ jika si orang dalam berusaha memengaruhi atau bersikap demanding kepada perekrut untuk menerima kandidat yang dititipkannya, meskipun kandidat tersebut tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan.
BACA JUGA: Range Rover Lanjutkan Pick-Up Strategy, Berkontribusi 20% ke Penjualan
Bentuk pengaruhnya pun seringkali ditampilkan dengan berbagai macam cara. Mulai dari rayuan, memberikan pemberian-pemberian kecil yang dikenal dengan istilah nepotisme, hingga desakan atau ancaman secara halus.
Kalau orang dalam melakukan hal tersebut, tak menutup kemungkinan akan menciptakan kecemburuan sosial di lingkungan karyawan. Kandidat yang akhirnya direkrut pun bisa saja selalu diidentikkan dengan stigma-stigma negatif.
Untuk itu, mereka harus berusaha lebih keras dalam membuktikan kemampuannya. Berikan kesan terbaik bahwa dirinya memang bisa diandalkan, sehingga mereka juga dapat menjaga nama baiknya serta orang dalam yang memberinya rekomendasi.