Yang Harus Dilakukan Bila Penjual Mengalami Penolakan

marketeers article
101084642 beautiful young woman doubt expression, confuse and wonder concept, uncertain future, blue background

Penolakan merupakan hal yang wajar dalam dunia penjualan. Seorang penjual harus siap dengan risiko ditolak dan harus disadari sejak awal sejak ia memutuskan diri sebagai penjual. Seorang penjual harus menerima dan membiasakan diri dengan penolakan tersebut.

Dengan menerima risiko tersebut, penjual bisa lebih mempersiapkan diri ketika menghadapi momen tersebut. Asal tahu saja, penolakan yang dilakukan oleh pelanggan merupakan cara mereka membela diri dari membuat keputusan yang terburu-buru.

Seorang penjual yang optimistis akan memandang penolakan bukan sebagai hal negatif. Dan, memang, penolakan yang dilakukan pelanggan tidak selalu berarti negatif. Jeffry Gitomer, seorang pakar sales seperti dikutip dari buku Sales Operation (MarkPlus, 2009), mengatakan sebuah penolakan (objection) mungkin merupakan tanda bahwa pembeli mempunyai minat. Ia menambahkan, penjualan dimulai ketika pelanggan mengatakan “tidak.” Ini sejalan apa yang dikatakan oleh Mark Twain, seorang penulis legendaris asal Amerika, yakni “tidak” bisa jadi adalah awal dari hubungan yang indah.

Yang penting dari peristiwa penolakan tersebut adalah penjual memahami alasan penolakan sekaligus memahami tanda-tanda penolakan tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pelanggan menolak penawaran kita. Pertama, pelanggan memang tidak memahami tawaran kita. Kedua, pelanggan belum merasa perlu melakukan pengeluaran tambahan karena kebutuhan belum disadari. Di sini, pelanggan masih membutuhkan lebih banyak bukti atau pejelasan. Ketiga, pelanggan tidak merasa dilibatkan secara penuh dalam proses jual beli.

Sementara itu, pelanggan yang menolak biasanya diungkapkan lewat bahasa tubuh yang mana penjual harus peka. Beberapa indikasi penolakan oleh pelanggan itu, antara lain pelanggan melihat jam berulang kali, pelanggan tidak mengajukan pertanyaan apa-apa, pelanggan mengarahkan pandangan ke jendela atau langit-langit, berulang kali melihat ke arah barang di meja, menunjukkan kebosanan, maupun menunjukkan wajah tak tertarik.

Nah, jika Anda menemukan bahasa tubuh seperti itu, jangan terus berbicara. Saatnya Anda mendengarkan keberatan mereka dan memahaminya.

Bagaimana pendapat Anda?

Related