Label Gen X, Y, dan Z kini banyak digunakan oleh beberapa merek. Terlebih saat ini banyak merek yang menggunakan istilah Gen Y atau lebih beken dengan nama milenial sebagai salah satu cara mereka berjualan.
Dalam beberapa produk atau layanan yang diluncurkan, bisa dipastikan mereka menggunakan embel-embel milenial, kalau di Indonesia biasanya disematkan istilah generasi zaman now. Tidak ada yang salah dengan pelabelan ini. Namun, terkadang penggunaan kata tersebut terkesan berlebihan.
Kebiasaan merek dalam melabelkan demografi umur dalam nama Gen X, Y, dan Z tidak sepenuhnya salah. Namun, ada hal yang jauh lebih penting dari pelabelan tersebut, yakni melihat mereka dalam kondisi tahap kehidupan mereka.
Menurut CEO dan Co-Founder Brilio.net Joe Wadakethalakal, Gen Y tidak akan selamanya menjadi Gen Y, begitu pula Gen Z suatu saat nanti bisa jadi mereka akan berperilaku layaknya Gen X.
“Tahap kehidupan itu lebih penting. Alasannya, mereka tidak akan selamanya berhenti di sana selamanya,” ujar Joe.
Misalnya, saat ini membicarakan Gen Z, mungkin saat ini mereka sedang di tahap bangku SMP, SMA, dan Universitas, tentunya apa yang dikonsumsi pada tahapan ini berbeda-beda, meskipun mereka memiliki label yang sama, yakni Gen Z.
“Merek seharunya fokus di tahapan kehidupan konsumennya sehingga tahu apa yang konsumen mereka butuhkan,” kata Joe.
Saat ini, anak berumur 24 tahun akan diasosiasikan sebagai milenial bila merujuk pada umurnya. Tapi, bisa jadi kebiasaan mereka mirip dengan Gen Z karena mereka sedang kuliah S2. Fakta bahwa ia masih berada di lingkungan kampus, maka kebutuhan dan pola pikirnya masih seperti anak kuliahan.
Joe juga mencontohkan, di Indonesia banyak anak berumur awal 20-an sudah menikah dan memiliki anak. Tentunya mereka ini tidak akan berpikir layaknya Gen Z seperti seharusnya, justru pola pikir mereka akan seperti Gen X.
“Saya menilai bahwa label seperti Gen X, Y, dan Z itu tidak nyata alias buatan. Yang nyata adalah tahapan kehidupan mereka,” pungkas Joe.
Editor: Sigit Kurniawan