Jumlah kematian penduduk di tiga dusun wilayah Magelang mencapai 60 orang per tahun pada sembilan tahun lalu. Situasi berbeda terlihat ketika Plataran Borobudur berdiri di kawasan tersebut. Dua tahun berselang, angka kematian itu mendadak menyentuh angka nol. Alasannya? Mayoritas penduduk sekitar dapat beralih profesi. Jika semula mayoritas penduduk merupakan pemetik buah kelapa, kini mereka memiliki mata pencaharian baru yang jauh lebih layak.
Apa yang terjadi di tiga dusun kawasan operasional Plataran Borobudur hanyalah satu di antara deretan dampak besar yang dibawa Plataran Indonesia di berbagai wilayah ekspansi mereka.
Ya, Plataran Indonesia memang membawa misi untuk menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan bagi sekitar. Didirikan oleh Yozua Makes bersama sang istri (Dewi Makes), Plataran Indonesia menjalankan model bisnis yang mengedepankan quality tourism dibandingkan quantity tourism.
Siapa sangka, model bisnis yang bukan diciptakan lantaran tren justru sukses dan memperoleh respons positif dari pasar. Kini, ketika pasar Indonesia semakin terliterasi dan mulai bergeser ke arah quality tourism, Plataran Indonesia siap menangkap momentum tersebut.
Bersama dengan Yozua Makes, Marketeers dalam gelaran Jakarta Marketing Week 2020 mencoba menggali pengalaman Plataran Indonesia dalam menjalankan bisnis pariwisata yang berkelanjutan di Indonesia.
Bagaimana awal mula Anda mendirikan Plataran Indonesia dan apa alasan yang mendasari hal tersebut?
Plataran Indonesia saya bangun bersama dengan istri saya, Dewi Makes pada 11 tahun silam. Kami berdua memiliki latar belakang di bidang pendidikan. Saya merupakan pengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan, pun demikian istri saya yang merupakan pengajar di Universitas Indonesia.
Jadi, mindset kami berdua semula mencoba untuk mendidik bangsa Indonesia. Kami melihat, pariwisata merupakan senjata paling ampuh.
Di mana lokasi properti pertama Plataran Indonesia berdiri?
Plataran Canggu merupakan lokasi pertama berdirinya Plataran Indonesia.
Semula, tempat tersebut hanya kami tempati untuk berlibur. Kemudian, kami memutuskan untuk mengubah tempat itu menjadi sebuah resort yang kini menjadi ikonik Plataran Canggu. Terdapat tempat makan dan vila di lokasi tersebut.
Seperti apa model bisnis yang dijalankan Plataran Indonesia dan apa positioning yang diambil dibandingkan dengan kompetitor lain?
Positioning Plataran jelas sebagai pionir sekaligus pemimpin yang diakui di industri ini, yakni sebagai pemain bisnis hospitality yang membawa dampak sosial. Kami memiliki tiga kaki di plataran, yakni alam, masyarakat atau komunitas, dan budaya.
Model bisnis yang kami jalankan mengedepankan quality tourism, bukan quantity tourism. Hal ini terefleksi ke dalam model bisnis kami yang bermain di ranah nature tourism (outdoor).
Kami mencoba menjadikan Plataran itu sendiri sebagai sebuah destinasi baru yang menjadi tujuan wisata para wisatawan. Sebagai contoh, ketika kami mencoba melakukan ekspansi ke Bromo, bangunan pertama yang kami dirikan bukanlah resort, melainkan Pura.
Kenapa? Saat itu, saya melihat banyak wisatawan yang datang ke Bromo sekadar untuk menikmati Bromo. Padahal, di sana terdapat aset lain, seperti kebudayaan Tengger yang identik dengan agama Hindu.
Kami kemudian memutuskan untuk membuat sesuatu yang dapat mengangkat kebudayaan tersebut. Jadi, kami membangun sebuah pura besar dengan biaya pribadi, di atas tanah sendiri, dan mengizinkan masyarakat sekitar untuk beribadah di tempat itu.
Lantas, apa hasil yang kami peroleh? Dari one night stay, kini rata-rata wisatawan menambah durasi menginap mereka setidaknya two nights stay. Mereka ingin datang ke sana bukan sekadar untuk melihat Bromo, melainkan juga Plataran Bromo. Contoh kecil, para wisatawan senang melihat bagaimana anak-anak di Indonesia yang beragam menjalankan prosesi keagamaan mereka. Nah, hal-hal seperti ini yang kami angkat.
Jadi, apakah Anda mengatakan jika Plataran Indonesia menjual ekowisata (eco-tourism)? Apa alasan Anda memilih positioning ini ketika pasar pariwisata Indonesia saat itu belum bergerak ke arah tersebut?
Benar. Bagi kami di Plataran, ecotourism is our icon, purpose, and it’s our goal tourism. Ini yang membedakan kami dengan negara-negara lain yang menjual pariwisata. Sejak berdiri pada 2009, ekowisata menjadi DNA bagi kami, bukan sekadar gimmick.
Dampak ekowisata itu luar biasa terhadap ekonomi, konservasi alam, dan masyarakat (melestarikan budaya). Ekowisata merupakan bentuk tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan swasta. Harus ada kerja sama antara kementerian terkait, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Pariwisata, hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kita tidak mungkin bergerak sendiri, harus ada dukungan dari seluruh pihak.
Ketika kami membangun Plataran Borobudur, terlihat dampak luar biasa yang dirasakan oleh sekitar. Delapan atau sembilan tahun lalu, tiga dusun di kawasan Plataran Borobudur memiliki angka kematian penduduk mencapai 60 jiwa per tahun. Hal ini disebabkan profesi masyarakat sekitar sebagai pemetik buah kelapa.
Dua tahun setelah kehadiran Plataran Borobudur, data resmi kabupaten Magelang menunjukkan, jumlah kematian penduduk per tahun di ketiga dusun tersebut menjadi nol. Bahkan, hampir seluruh penduduk di wilayah tersebut kini telah memiliki kendaraan bermotor. Pasalnya, mereka mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak.
Ini menggambarkan bagaimana kita bersama-sama dengan masyarakat sekitar dapat menghidupkan tempat tersebut.
Pandemi COVID-19 membawa dampak signifikan bagi bisnis pariwisata. Bagaimana Plataran Indonesia menghadapi situasi krisis ini? Adakah inovasi produk yang diluncurkan?
Anda mungkin tidak akan percaya jika berkunjung ke Plataran Borobudur sekarang (di masa pandemi), tingkat occupancy rate kami begitu tinggi. Hal ini berkat mindset kami yang melihat situasi krisis sebagai peluang baru untuk bertumbuh.
Plataran Indonesia menghadirkan berbagai inovasi baru di tengah pandemi ini. Plataran Indonesia menawarkan pengalaman lain yang kami luncurkan dalam sebuah program bernama Plataran Rainbow Revival. Program ini terdiri dari berbagai penawaran, yakni Indonesia Destinasiku, Plataran Your Real Second Home, Plataran at Your Home, Garuda Premium City Check-In, dan Plataran Silk Trails.
Salah satu inovasi yang kami lakukan adalah memberikan pengalaman yang seamless bagi para wisatawan melalui program Indonesia Destinasiku. Kami bekerja sama dengan BNI, BCA, Garuda Indonesia, Putri Indonesia Foundation, dan Mustika Ratu untuk memberikan paket pengalaman pariwisata yang eksotis kepada para wisatawan dengan menyatukan seluruh layanan terbaik yang kami miliki.
Sangat menarik. Menutup diskusi ini, apa pendapat Anda terkait dengan outlook industri pariwisata ke depan? Tren apa yang harus diperhatikan pelaku bisnis pariwisata?
Pariwisata Indonesia akan terus bergerak ke arah quality tourism, bukan lagi quantity tourism. Selanjutnya, para pelaku bisnis industri pariwisata harus memperhatikan pengalaman yang diberikan kepada para wisatawan.
Di Plataran, kami berinovasi dengan menghadirkan produk adventure sport entertainment. Hal ini berangkat dari analisis kami terhadap perilaku wisatawan, terutama milenial yang semakin berminat terhadap pengalaman pariwisata yang menantang.
Untuk itu, kami membuat Plataran X-Trail and X-travaganza di Taman Nasional Bali Barat dan Bromo. Di sini, para wisatawan dapat memperoleh pengalaman berlari melewati lautan dan hutan. Unsur-unsur alam kami selipkan guna memberikan pengalaman yang mereka dambakan.